Konsekuensi Talak Tiga dalam perceraian



Menurut Ustadz Miftah Faridl, pada dasarnya suatu perkawinan itu hendaknya berlangsung seumur hidup. Artinya seorang Muslim dalam membangun rumah tangga hendaknya diusahakan untuk tidak berakhir dengan perceraian. Kecuali karena salah seorang di antara suami atau istri ada yang wafat sebagaimana di atas. Allah berfirman:
”Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (an-Nisaa’: 19)

Cerai untuk kasus inilah yang disebut Rasulullah saw. sebagai perbuatan yang halal tapi dibenci Allah. Dalam haditsnya beliau saw. bersabda:
”Perbuatan halal yang paling dimurkai Allah adalah cerai.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Kenyataan yang terjadi adalah kehidupan rumah tangga tidak selalu sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masing-masing pasangan. Maka Islam memberikan solusi agar manusia tidak menjadi tersiksa sebagai akibat dari pernikahannya itu dengan jalan cerai. Dengan demikian kebolehan menjatuhkan cerai dan bentuk-bentuk perceraian lainnya bersifat darurat. Artinya perbuatan tersebut terpaksa harus dilakukan karena tidak ada jalan lain yang lebih tepat dan lebih maslahat. Sebab pada dasarnya perkawinan itu adalah sesuatu yang agung dan mulia serta hendaknya dipelihara untuk selama-lamanya.

Jika telah terjadi perceraian maka berlakulah ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1.      Suami istri boleh kembali tanpa akad nikah baru. Apabila talak tersebut belum terjadi tiga kali dan istri masih dalam masa iddah. Hal tersebut dikemukakan Allah di dalam Al-Qur’an :
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri dari tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka  menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya . Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (al-Baqarah: 228)

Ayat berikutnya menyatakan :
”Talak dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Baqarah: 229)

2.      Suami istri boleh kembali dengan akad nikah baru apabila talak tersebut belum tiga kali dan telah selesai masa iddah.
3.      Suami istri tidak boleh kembali (sebagai suami istri) apabila telah terjadi tiga kali talak (sering disebut sebagai ”Talak Tiga”) kecuali istri tersebut telah menikah dengan pria lain yang kemudian diceraikan kembali. Namun demikian jika pernikahan dengan pria lain dilakukan dengan rekayasa agar bisa balik lagi ke suami asal maka pernikahannya termasuk pernikahan yang diharamkan. Allah berfirman :
”Kemudian jika si suami menalaknya , maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga ia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang  mengetahui.” (al-Baqarah: 230)

Yang dimaksud talak tiga di sini yaitu suami sudah cerai tiga kali berturut-turut (nikah kemudian cerai, rujuk kemudian cerai lagi, dan rujuk kemudian cerai lagi). Adapun talak tiga yang dinyatakan dalam satu kali ucapan seperti seorang suami menyatakan ”Engkau aku cerai! Engkau aku cerai! Engkau aku cerai!” menjadi bahan perbedaan pendapat para ulama. Ada yang berlaku tiga kali talak dan ada yang berpendapat hanya berlaku satu kali talak. Ada sebuah hadits menyebutkan, Ibnu Abbas berkata, ”Pada masa Rasulullah saw. dan masa Abu Bakar, dan dua tahun pada masa khalifah Umar, talak tiga itu berlaku satu. Maka Umar berkata, ’Orang-orang suka terburu-buru pada urusan yang telah mereka putuskan. Kalu kita teruskan kehendak mereka akan teruslah merugikan mereka (maksudnya soal talak).” (HR Ahmad dan Muslim)

Kesimpulan dari hadits tersebut di atas, talak dengan satu kali ucapan sebenarnya hanya berlaku satu sebagaimana terjadi di zaman Rasulullah saw.. Dan ucapan seorang suami kepada istrinya, ”Aku talak tiga kamu” adalah merupakan ucapan bid’ah yang tidak sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Karena hal tersebut banyak dilakukan maka Umar memutuskan bahwa ucapan talak tiga itu dinilai sebagai tiga kali talak.

Dalam kitab-kitab fiqih kita mengenal adanya dua jenis talak, yaitu talak raj’i dan talak ba’in. Talak ba’in ada dua, yaitu talak ba’in sugra (kecil) dan talak ba’in kubra (besar). Talak raj’i (kembali) adalah talak yang memungkinkan seorang suami rujuk kembali dengan istrinya tanpa adanya akad nikah. Ketika masih dalam talak raj’i dan masih dalam masa iddah seorang suami boleh langsung rujuk kepada istrinya tanpa melakukan akad nikah lagi. Ada yang mensyaratkan dengan ucapan seperti ”Aku kembali padamu” ada juga yang menyatakan sekadar mereka masuk kamar mereka sudah dapat dikatakan rujuk. Jika sudah habis masa iddah maka suami istri jika akan rujuk harus dengan akad nikah. Khulu’, yaitu perceraian yang diakibatkan tuntutan istri yang tidak mempunyai iddah. Jadi khulu’ tidak termasuk talak raj’i, tetapi talak ba’in. Talak raj’i mempunyai bilangan dua, yaitu dua kali cerai. Dalil talak ini adalah:
”...Talak (yang dapat dirujuk itu) dua kali, kemudian (kalau mau) rujuklah atau lepaskanlah dengan cara yang baik....” (al-Baqarah: 229)

Talak ba’in adalah talak yang memungkinkan pasangan suami istri melakukan rujuk dengan syarat-syarat tertentu. Talak ba’in sughra yaitu talak yang mensyaratkan rujuknya pasangan suami istri dengan akad nikah pada bilangan talak pertama dan kedua. Sedangkan talak ba’in kubra adalah talak yang mensyaratkan rujuknya pasangan tersebut melalui pernikahan wanita tersebut dengan pria lain selain mantan suaminya yang telah tiga kali menalaknya. Dalil talak ini adalah:
”Apabila ia menceraikan istrinya maka tidak halal baginya sebelum si wanita menikah dengan pria lain.” (al-Baqarah: 230)

Apabila seorang suami menceraikan istrinya dengan talak tiga maka perempuan itu tidak boleh dikawininya lagi sebelum si wanita itu kawin dengan laki-laki lain tanpa rekayasa. Rasulullah saw. bersabda kepada istri Rifa’ah:
”Sampai engkau merasakan ’madunya’ dan ia merasakan ’madumu’.” (HR Bukhari dan Muslim)

Demikan beratnya kondisi talak tiga sampai-sampai istrinya tidak bisa kembali kecuali mengawini pria lain tanpa adanya rekayasa. Artinya jika wanita tersebut cocok dengan pria baru tersebut maka pupuslah harapan suaminya yang dahulu. Dengan kata lain, talak tiga membuat pasangan tersebut kemungkinannya sangat kecil sekali untuk bersatu kembali. Oleh karena itu tidak boleh sepasang suami istri mempermainkan agama dengan cara kawin-cerai. Rasulullah saw. sudah mengingatkan:
”Allah mengutuk orang yang suka mencoba-coba pernikahan dan suka bercerai.” (Al Hadits)

Rasulullah saw. pernah marah sekali kepada orang yang menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus. Beliau saw. bersabda:
”Apakah ia akan main-main dengan Kitab Allah padahal aku masih ada di tengah-tengah kamu?” (HR Nasa’i)

Sungguh mengherankan jika ada seseorang yang sampai pada kondisi talak tiga dan sungguh mengherankan lagi jika mereka dapat kembali bersatu setelah talak tiga. Sebab, mahligai pernikahan adalah sebuah kenikmatan yang Allah berikan kepada pasangan suami istri. Jika terjadi perceraian berarti orang tersebut tidak mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kecuali cerai wajib. Padahal dengan mensyukuri kehidupan rumah tangga maka Allah akan menambah kenikmatan bagi rumah tangga tersebut.

Pasangan Murtad, bagaimana status perkawinan?



Perceraian yang dikarenakan salah satu pasangan murtad, yaitu keluar dari Islam maka perkawinan itu putus dengan sendirinya. Sebab tidak memenuhi ketentuan persyaratan perkawinan tentang larangan nikah dengan orang-orang kafir dan orang murtad. Seorang suami meskipun menurut salah satu pendapat boleh mengawini wanita ahli kitab, namun jika ahli kitabnya didapat dari murtad yang asalnya Islam menjadi batal perkawinannya.

Strategi murtad ini banyak dijadikan modus operandi bagi kaum Nasrani dalam mencoba menggaet kaum Muslimin, baik yang pria maupun wanita masuk agama mereka. Seseorang Muslim tidak mudah untuk ditarik pindah agama jika itu yang disampaikan di permukaan. Tapi dengan jalan menikahinya dahulu, kemudian dibujuk, dan akhirnya pindah agama maka pemurtadan tersebut bisa terjadi. Seorang pria Kristen misalnya memeluk Islam karena agama Islam mensyaratkan seorang Muslimah tidak boleh menikah dengan pria kafir. Dengan masuk Islam ia bisa menikahi gadis Muslimah. Setelah beberapa tahun berkeluarga dan mempunyai 2-3 anak yang lucu-lucu maka ia balik ke agamanya. Sang istri yang sudah ’kadung’ cinta dengan suami dan anak-anaknya bimbang. Ia enggan melepaskan keluarga yang selama ini dicintainya, yaitu suami dan anak-anaknya. Jika imannya lemah maka ia akan ikut agama suami agar rumah tangganya bertahan. Padahal seharusnya agamalah yang nomor satu. Ia harus mempertahankan agamanya meskipun sebagai akibat secara hukum ia harus bercerai dengan suami bahkan mungkin dengan anak-anaknya.

Tapi lepas dari itu semua, yang jelas pindahnya agama seseorang dalam hubungan suami istri menyebabkan proses cerai tersebut terjadi dengan sendirinya.

Perceraian karena kematian, kapan boleh menikah lagi?



Cerai Mati terjadi jika suami atau istri meninggal dunia. Jika salah satu dari mereka meninggal maka perkawinan mereka dianggap putus dengan sendirinya. Maka putuskan hak dan kewajiban masing-masing. Kewajiban yang ada dari yang masih hidup adalah mengurus pemakamannya. Dalam Islam tidak ada istilah pati geni, yaitu sang istri sebagai tanda kesetiaan menyusul suaminya yang meninggal melalui upacara pati geni. Yaitu ia membenamkan diri dalam api yang membakar jenazah suaminya. Sang istri ikut mati dengan cara bunuh diri di dalam perapian jenazah suaminya.

Bagi yang ditinggalkan, baik suami maupun istri, mempunyai kebebasan untuk menikah lagi sesuai dengan ketentuan berikut ini:
Bagi seorang istri yang ditinggalkan suami yang meninggal dunia, boleh menikah lagi dengan pria lain yang bukan muhrimnya setelah mengalami masa iddah (masa tunggu) selama empat bulan sepuluh hari. Masa iddah ini diberlakukan untuk mengetahui apakah sang istri ketika ditinggal saat meninggal dunia masih dalam keadaan hamil atau tidak. Masa iddah ini penting untuk mengetahui siapa orang tua dari sang anak kelak ketika lahir. Hal ini disampaikan Allah dalam firman-Nya:
”Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri menangguhkan dirinya empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddah-nya, maka tiada dosa bagimu membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (al-Baqarah: 234)

Bagi orang pria yang ditinggalkan mati oleh istrinya boleh menikah lagi dengan wanita lain yang bukan muhrimnya setelah mempertimbangkan berbagai pertimbangan yang baik seperti kondisi psikologis keluarga dan lain-lain. Berapa lama seorang suami harus menunggu kapan boleh menikah lagi tidak ditentukan oleh agama. Hanya saja sekali lagi harus mempertimbangkan baik buruknya di mata keluarga dan masyarakat.

Musyawarah adalah solusi sebelum bercerai


Kedua pasangan harus mengadakan pendekatan-pendekatan dengan jalan musyawarah. Seberat apa pun masalahnya, kedua belah pihak harus bertemu dan berdiskusi. Jangan sampai permasalahan dibawa oleh orang lain dan keduanya tidak mau bertemu sehingga langsung mengambil keputusan. Musyawarah ini merupakan salah satu tuntunan Allah kepada kaum Muslimin dalam menyelesaikan segala urusan termasuk urusan rumah tangga. Allah berfirman:
“…Dan bermusyarawarahlah dengan mereka dalam urusan itu….” (Ali Imran: 159)

Ketika suami mendapati ganjalan atas perbuatan istrinya, misalkan sang istri menjalin hubungan dengan pria lain atau ia kurang bisa menjaga diri sehingga membuat malu pihak keluarga, atau berutang tanpa sepengetahuannya maka sang istri harus dipanggil untuk dimintai keterangan. Dalam proses ini timbullah musyawarah sekaligus proses check and recheck. Seorang suami yang mendapatkan kabar miring terhadap istrinya tidak begitu saja langsung ‘mengadili’ sungguh pun begitu itu, ia percaya 100%. Allah sudah mewanti-wanti setiap kabar yang dibawa seseorang, terutama yang disampaikan oleh orang fasik harus dikonfirmasi terlebih dahulu. Firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (al-Hujurat: 6)

Sang suami menanyakan kabar yang diterimanya dan memberikan kesempatan kepada istri untuk memberikan penjelasan, apakah kabar yang diterimanya benar atau cuma sekadar gosip. Kalaupun benar, suami pun harus memberikan kesempatan kepada istri untuk memberikan alasan mengapa hal itu ia lakukan. Apakah karena terpaksa, khilaf, atau sengaja. Hal tersebut agar membuat sang suami berintrospeksi diri sehingga jika ia memperbaiki kelakuannya yang menyebabkan istrinya demikian, persoalan seharusnya selesai. Namun jika memang istrinya khilaf atau justru sengaja maka kewajiban suamilah untuk menasihati. Seperti tuntunan Al-Qur’an :
“…..Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyuz-nya (melakukan pelanggaran) maka nasihatilah mereka…..” (an-Nisaa’: 34)

Proses ini tentu terjadi dalam forum musyawarah keduanya. Dan untuk peristiwa sepenting dan segenting ini tidak selayaknya musyawarah atau nasihat ini dilakukan melalui telepon, surat apalagi pesan singkat (sms). Mahligai rumah tangga yang dikhawatirkan bisa runtuh harus ditangani dengan serius. Seorang suami seberapa pun sibuknya harus menyempatkan diri menemui istrinya untuk memusyawarahkan hal itu. Terkecuali jika berada di luar negeri atau luar kota yang tidak mudah untuk segera pulang. Musyawarah tersebut ‘untuk sementara’ bisa melalui telepon atau surat terlebih dahulu namun segera setelah situasi memungkinkan musyarawah harus dilakukan. Minimal, jika memang istri melakukan hal-hal yang  menyimpang dari agama sudah dihentikan dulu.

Sedangkan jika istri mendapati suami yang melakukan nusyuz (pelanggaran) dan cuek (acuh tak acuh) terhadap dirinya, ia harus berusaha menghadirkan suaminya untuk bermusyawarah. Ia harus menanyakan kelakuan suaminya, apakah benar dan mengapa dirinya berbuat demikian. Dalam Al-Qur’an juga disebutkan jika terjadi hal yang seperti ini. Allah berfirman:
”Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz  atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya , dan perdamaian itu lebih baik  walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (an-Nisaa’: 128)

Musyawarah adalah langkah awal yang harus dijalani apabila sebuah rumah tangga mengalami problematika. Janganlah langkah awal yang sangat mendasar ini ditinggalkan untuk langsung mengambil keputusan cerai. Jika langkah awal ini berjalan dengan mulus, perceraian tidak akan terjadi. Seorang suami yang melakukan kesalahan sementara istrinya adalah wanita yang setia maka dengan nasihat dan musyawarah ini ia menjadi sadar, meminta maaf, dan kembali kepada istrinya seperti sedia kala. Sedangkan jika kesalahan diakibatkan oleh perbuatan pasangannya maka ketika diuraikan pasangannya sadar, semuanya menjadi terang. Keduanya mengakui kesalahan dan kembali berkomitmen untuk mempertahankan rumah tangga dan membangunnya dengan sakinah mawaddah wa rahmah

Jika Cerai Terpaksa harus dilakukan


Jika semua langkah musyawarah dan proses mediasi telah dicoba dan berkali-kali diulangi sedangkan masalah tidak makin membaik tapi malah memburuk, dengan penuh kesadaran, keikhlasan, dan tanggung jawab boleh dilakukan proses perceraian. Cerai atau talak adalah suatu proses perceraian yang dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya.

Talak boleh dilakukan oleh seorang suami jika ia dihadapkan pada suatu keadaan rumah tangga serba sulit. Keadaan tersebut dapat membahayakan bagi ketentraman, ketenangan suami serta istri, dan tidak ada jalan lain lagi yang lebih bijaksana dan maslahat. Cerai adalah alternatif terakhir untuk penyelesaian problem rumah tangga. Dalam Islam, cerai adalah syariat yang harus dilakukan secara ikhlas tanpa paksaan. Cerai dilakukan karena masalah tanggung jawab yang sungguh besar. Keduanya harus sadar sepenuhnya bahwa perceraian ini adalah jalan yang terbaik bagi keduanya. Allah telah berfirman :
”Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat ‘iddah-nya dan hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (ath-Thalaq: 1)

Suami Kasar, ada solusinya


Soal nasib buruk yang menimpa Lastri, kita sebetulnya dapat memutuskan sendiri apakah mau terus apakah mau bertahan. Memang kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) cukup banyak kita temukan di masyarakat. Bahkan, sekelompok LSM yang memperjuangkan hak-hak wanita berusaha untuk ’menggolkan’ Undang-Undang Anti KDRT. Apalagi di tengah sulitnya kondisi perekonomian di negeri ini. Cari kerja susah, sudah kerja gajinya tidak cukup. Suasana di luar rumah yang gampang menyulut emosi sering kali dibawa suami ke rumahnya. Sehingga ketika istri salah sedikit saja, piring melayang. Oleh karena itu, adanya sikap suami yang demikian ada banyak pihak yang berkontribusi, tidak hanya menyalahkan sifat dasar yang dibawanya sejak kecil.

Katakanlah, kondisi suami saat ini sudah seperti itu. Gampang marah, gampang main tangan, gampang melakukan kekerasan fisik, dan juga gampang melakukan tekanan psikis. Masih untung, dalam kasus Lastri ini, suaminya tidak ’nyeleweng.’ Pada dasarnya suaminya setia pada istrinya, hanya saja Lastri sering tidak tahan dengan tindakan suaminya yang sangat kasar itu.

Karena dalam kasus ini, Lastri yang tergolong ”waras” maka ialah yang harus berinisiatif untuk memperbaiki keadaan atau memberikan solusi. Menyerahkan persoalan dan menyalahkan suami sebagai kepala rumah tangga serta mengharapkan perbaikan darinya sangat sulit, meskipun bukannya tidak mungkin. Lastri harus mulai dari diri sendiri. Tentu bukannya kemudian ikhlas dijadikan sasaran pukulan. Tapi ia harus berpikir keras bagaimana menghadapi persoalan pelik ini.

Yang pertama, Lastri harus kuat baik secara fisik maupun mental. Jangan sampai kondisi buruk yang menimpa rumah tangganya membuat ia stres, tidak kuat, bahkan mencoba untuk bunuh diri.  Sebagai seorang Muslim, putus asa tidak ada rumusnya. Ia harus ingat ayat Allah yang berbunyi, “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.  Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (Yusuf: 87)

Setelah dirinya mampu mengendalikan diri, sasaran pertama adalah membuka pintu diskusi dengan suaminya. Ini hanyalah persoalan teknis, ketika suami akan diajak bicara serius, usahakan agar hatinya disenangkan dulu. Misalnya dengan berdandan yang rapi, menyiapkan makanan, membersihkan ruangan, memberikan bebauan yang wangi pada ruangan, pakaian, dan sebagainya. Kalau perlu dipijit dan diservis agar dirinya merasa rileks. Ketika suasananya sudah mantap, silakan suami diajak bicara soal sikap masing-masing. Lastri akan berusaha memberikan sikap yang terbaik, yaitu melayani dan berbakti pada suaminya. Sementara itu, tentunya dengan cukup hati-hati, Lastri meminta timbal balik dari suaminya agar dirinya pun dihargai sebagai seorang istri. Ujung-ujungnya, meskipun tidak mengeluarkan kata-kata, “Jangan kau pukul aku,” tapi maksudnya akan sampai bahwa istri pun harus dihormati. Tidak boleh disakiti baik fisik maupun perasaannya.

Keduanya, Lastri dan suaminya seperti kembali diikat dengan tali kesepakatan dalam pernikahan. Tumbuhkan ketulusan berdua dalam menjalani kehidupan rumah tangga dan diajak untuk menghadapi persoalan secara bersama-sama. Mungkin suami yang merasa berat mencari kerja di luar rumah merasa istrinya tidak ikut berempati sehingga sifat kasar suaminya timbul. Kesabaran di antara keduanya harus dipupuk. Lastri akan berusaha sabar jika sikap kasar suaminya timbul. Dalam pikirannya, sang suami pasti sedang ada masalah di tempat kerja. Sang suami pun semestinya juga bersabar. Ia harus mampu menahan diri, jika ada sesuatu kelakuan Lastri yang menjengkelkannya. Dirinya harus menyadari bahwa berada di rumah seharian mungkin terasa bete (membosankan).

Lastri, yang dalam kasus ini masih bisa berpikir dengan jernih harus lebih menyelami perasaan suaminya. Ia harus berpikir keras mengapa sang suami bertindak seperti itu. Tentu bukannya untuk menerima keadaan, tapi untuk mengobati “sakitnya” sang suami. Dalam arti, bisakah tabiat suami yang kasar itu diubah dan diluruskan? Itu akan menjadi tantangan tersendiri baginya. Lastrilah yang sebaiknya harus melakukannya, sedapat mungkin. Jangan meminta pertolongan orang ketiga dahulu jika ia masih bisa melakukannya. Sebab, pendekatan dari seorang istri niscaya lebih efektif karena ialah yang mengerti seluk-beluk suaminya. Yang menjadi fokusnya adalah, apakah sikap kasar suaminya merupakan sikap yang muncul saat dewasa ketika ada peristiwa yang memengaruhi dirinya atau sudah ada sejak kecil. Yang berat memang apabila sikap tersebut dibawanya sejak kecil, entah karena didikan orang tua, karena stres ada suatu peristiwa yang membuat dirinya seperti itu, atau apa saja tentang masa lalunya. Namun demikian keduanya bukannya tidak mungkin diubah.

Seperti yang diuraikan dalam buku Rumahku Surgaku, tindakan kasar yang ada pada suami adalah masalah yang melekat pada dirinya, bukan pada istri. Jadi, istri harus melihat bahwa sebenarnya suami sedang dirundung masalah, termasuk tindakan kasarnya itu. Seorang suami yang kasar, marah-marah, sampai mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas sesungguhnya sedang dalam masalah. Istrinyalah yang pertama kali harus membantunya menyelesaikan masalah itu. Maka, ia wajib mencari tahu penyebabnya.

Setelah penyebab diketahui, kita bisa mengetahui bagaimana cara “mengobati” atau melakukan terapinya. Jangan katakan bahwa suami sedang “sakit.” Tapi istri harus merasa bahwa ketidakwajaran sikap suami itu sebagai suatu penyakit. Dengan demikian ia tidak akan stres atau merasa dizalimi oleh suaminya, apalagi mendendam dan menuntut balas.

Masalah penyebab kekasaran suami dan bagaimana langkah yang tepat mengatasinya bisa dibicarakan bersama-sama jika suami bisa diajak dialog. Jika tidak bisa “curhat” kepada orang lain pun dapat dilakukan tanpa harus membuka aib rumah tangganya. Insya Allah dengan pendekatan yang bijak “penyakit” kasar suaminya itu akan sembuh dan selanjutnya kasih sayanglah yang akan diberikan. Perlu juga disampaikan ajaran Islam atau hadits Nabi saw. mengenai bagaimana suami bersikap kepada keluarga, terutama kepada istrinya. Misalnya hadits Nabi saw. sebagai berikut:
"Sebaik-baik orang yang beriman adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan orang yang paling baik di antara kamu adalah orang yang sangat baik pada istrinya." (Al Hadits)

Dalam usaha “menyembuhkan” masalah suami itu tidak lupa harus didukung dengan doa dan munajat kepada Allah agar hati suaminya dibukakan untuk kebaikan, terutama pada istri dan keluarganya. Mohon kepada Allah supaya suaminya dijadikan orang yang saleh dan bertanggung jawab terhadap rumah tangganya. Diimbangi pula dengan mendekatkan diri kepada Allah, termasuk mengajak suami untuk bersama-sama beribadah. Shalat, puasa, dzikir, dan menghadiri pengajian merupakan langkah yang sebaiknya ditempuh. Insya Allah akan memberikan kelancaran dan jalan keluar yang terbaik.

Kebiasaan yang baik yang selama ini dilakukan juga harus dipertahankan dan diperlihatkan kepada suami bahwa dirinya adalah orang yang baik dan tidak patut untuk dikasari. Ketenangan dan kebaikan kawan-kawan seiman dalam majelis taklim akan membantunya menyelesaikan masalah rumah tangganya. Kalau semuanya itu dilakukan dengan tulus ikhlas maka usaha dan doanya akan terkabul. Usahanya terus dilakukan dan dikuatkan dengan dzikir, di antaranya “Hasbunallah wa ni’mal wakiil ni’mal maula wani’man nashiir.” Kemudian ujung surat at-Taubah ayat 129, “Hasbiallahu laa ilaaha illa huwa ‘alaihi tawakkaltu wahuwa rabbul arsyil azhiim.”


Diberdayakan oleh Blogger.