Pemberian sanksi sebagai solusi sebelum bercerai


Langkah ini harus dilakukan sekiranya langkah pertama, yaitu bermusyawarah tidak memberikan hasil. Problem tetap ada meskipun telah diadakan dialog. Nasihat dan penjelasan tidak diterima. Entah tidak mengaku kebenaran fakta atau mengaku bersalah. Jika langkah pertama tidak mencapai titik temu, maka langkah kedua ini adalah memberikan sanksi bagi yang bersalah. Dalam hal ini suami adalah faktor utama. Inilah bedanya pernikahan Islam dengan non-Muslim. Kalau kita lihat, pernikahan non-Muslim sering diibaratkan sebagai perjanjian sehidup semati bagi kedua mempelai. Mereka mengikat janji untuk selalu saling setia dan berusaha sekuat tenaga mempertahankan rumah tangga. Dalam Islam, perkawinan bukan perjanjian antara mempelai pria dan wanita, tapi akad peralihan tanggung jawab dari orang tua mempelai wanita kepada calon suaminya. Berarti yang selama ini semua perbuatan dan tingkah laku anak perempuan ini menjadi tanggung jawab orang tua, beralih menjadi tanggung jawab suaminya. Gambaran ini sering salah apabila kita saksikan pernikahan-pernikahan dalam cerita sinetron televisi.

Untuk itu, sebagai kepala rumah tangga suami mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap semua tingkah laku orang yang berada dalam kuasanya, yaitu istri dan anak-anaknya. Jika istri menjadi wanita yang salihah, itu adalah berkah bimbingan suaminya. Jika istrinya menjadi wanita yang rusak dan berakhlak bejat, hal itu adalah tanggung jawab suaminya karena sang orang tuanya sudah melimpahkan tanggung jawab itu. Atas tanggung jawab yang besar itu seorang suami diberikan kekuasaan untuk mengatur dan membimbing anggota keluarganya. Ketika sang istri melakukan kesalahan, menjadi kewajibannya untuk memberikan nasihat. Apabila nasihat tidak mempan untuk menyadarkan sang istri maka ia dapat memberikan sanksi. Sanksi seperti apa yang dianjurkan di dalam Islam. Allah berfirman :
”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang salih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya . Sesungguhnya Allah Mahatingi lagi Mahabesar.” (an-Nisaa’: 34)

Sanksi tersebut, pertama, berupa pemisahan diri dari tempat tidur. Mungkin juga bisa pisah rumah jika memungkinkan. Dengan kesendiriannya, seorang istri yang melakukan kesalahan diharapkan dapat menyadari kesalahannya dan memikirkan nasihat suaminya. Dengan merenungkan semua peristiwa sejak mereka pertama kali mengenal, proses pernikahan, bulan madu, hari-hari bahagia, suka dan duka dialami bersama, diharapkan bisa mengubah sikapnya. Situasi tidak lagi emosional seperti saat musyarawah yang gagal dahulu. Masing-masing bisa merenungkan, apa sebaiknya yang harus dilakukan di masa depan. Jika ingin keluarganya dipertahankan, salah satu atau keduanya harus mengalah.

Jika pemisahan ini tidak membuahkan hasil maka tindakan berikutnya yang diperbolehkan oleh agama adalah suami berhak memukul istrinya dengan pukulan yang tidak mencelakakan. Pukulan ini hanyalah sebagai ungkapan bahwa tindakan lisan dengan memberi nasihat tidak dimengerti, memisahkan diri juga tidak disadari, dengan memberikan pukulan insya Allah sang istri bisa sadar. Dengan demikian berarti pukulan tersebut tidak boleh disertai emosi dan menyakiti fisik sang istri. Cukup sebagai pertanda bahwa kelakuan istrinya sudah ’kebangetan’.

Sanksi pukulan inilah yang sering kali memberikan salah pengertian bagi mereka yang tidak mengerti atau orang di luar Islam. Bagi mereka yang tidak suka dengan Islam akan berkata bahwa ini adalah justifikasi Islam mengenai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Padahal sanksi seperti ini tidak sama dengan KDRT yang sering kali terjadi di kalangan masyarakat. Hal ini sama saja dengan memberikan pukulan kepada anak-anak yang setelah usia 10 tahun belum mau melakukan shalat. Semua bentuk sanksi ini pada hakikatnya adalah hukuman yang dapat menyadarkan, bukan sekadar pukulan. Sehingga masing-masinglah yang tahu kadar pukulan yang dapat menyadarkan dan tidak melukai fisik istri tadi.

Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
”Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat  ‘iddah-nya dan hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (ath-Thalaq: 1)

Setelah memberikan sanksi diharapkan keduanya saling mengerti. Masing-masing bisa kembali ke asal agar kehidupan rumah tangga dapat dipertahankan. Istri yang mempunyai kesalahan bisa menyadari dan kembali kepada suaminya.

Sementara, yang jadi persoalan, apa yang sering dialami di masyarakat, sang suamilah yang berbuat kesalahan. Suamilah yang berbuat serong dengan istri orang, sang suamilah yang gemar berjudi dan mabuk-mabukan, sang suamilah yang tidak bertanggung jawab mencari nafkah keluarga dan sebagainya. Terhadap yang demikian maka ada beberapa hal yang bisa dilakukan istri. Yang jelas ia tidak bisa memberikan sanksi seperti pisah ranjang atau memukul suami. Sang istri bisa menyampaikan keluhan tersebut kepada orang tuanya dan sang orang tua, dalam hal ini ayah kembali mempertanyakan tanggung jawab sang suami. Namun bila masalah rumah tangga tidak ingin diketahui pihak lain termasuk orang tua, bisa saja sang istri mengembalikan hak yang diterimanya. Misalnya dengan mengembalikan nafkah yang diterimanya agar sang suami mengerti ketidaksukaan istri terhadap kesalahannya. Dalam hal suami tidak bekerja dan istri yang mencari nafkah, istri boleh saja tidak memberikan penghasilannya kepada suami mengingat itu bukan hal yang wajib baginya. Dalam Islam, harta istri dan suami terpisah sehingga tidak perlu dikhawatirkan suami akan merongrong harta istri. Kalau suami kemudian marah dan melarang istri bekerja maka istri yang tidak bekerja pun tidak bisa mendapatkan penghasilan sehingga sang suami pengangguran tersebut tambah repot.

Memang ’hukuman’ ini tidak seefektif hukuman suami kepada istrinya. Sebab tanggung jawab segala sesuatu ada pada kepala keluarga, yaitu suami. Sementara jika didapati suami yang tidak bertanggung jawab berarti salah pilih suami. Memang ini sangat naif, tetapi perlu diperhatikan. Ketika memilih calon suami, harus benar-benar diperhatikan watak dan akhlak pria calon suaminya ini. Dan ini adalah tanggung jawab yang sangat besar dari seorang ayah kepada anaknya. Seorang tabiin pernah berkata bahwa pernikahan itu sebagaimana engkau menjual budak. Artinya jika budak tersebut mendapat tuan yang baik maka akan baiklah nasibnya, demikian pula sebaliknya. Jadi harus benar-benar diperhatikan sebab nasib anak gadisnya akan berada sepenuhnya di tangan orang ini (suaminya).

Namun jika sudah telanjur maka bagi pihak wanita, langkah pertama yaitu musyawarah di atas menjadi sangat krusial. Ia harus berhasil di tahap satu tersebut karena langkah kedua bagi seorang istri mungkin saja tidak terlalu efektif. Istri bisa saja mengajukan khulu’, yaitu permohonan cerai dari pihak perempuan dan ini statusnya sama dengan cerai. Namun jika masih ingin menyelamatkan perkawinan masih ada satu langkah yang harus dilalui.

Reader Comments



Diberdayakan oleh Blogger.