Ini solusi bagi istri yang bekerja tapi keluarganya berantakan
Dalam buku Tak Goyah Diterpa Badai
dikatakan bahwa setiap pasangan dalam berumah tangga pasti mengharapkan suatu
kondisi yang ideal di dalamnya. Sakinah mawaddah wa rahmah. Saling
menyayangi dan mengasihi. Saling menunaikan hak dan kewajiban sehingga keduanya
berbahagia. Pun kalau sudah ada anak-anak, kebahagiaan itu akan menyebar ke
semua anggota keluarga.
Meskipun kadang tidak relevan, orang sering
mengaitkan kondisi ideal adalah ayah sebagai kepala rumah tangga mencari
nafkah, ibu berada di rumah mengelola rumah dan mendidik anak-anaknya. Lebih
jauh, ideal tersebut dirumuskan dengan berkecukupannya penghasilan suami
sehingga istri tidak perlu bekerja dan di rumah pun bisa lebih dapat
mengembangkan diri dan anak-anak karena pekerjaan rumah sudah dikerjakan oleh
pembantu.
Di daerah perkotaan –terlebih di ibu kota-, istri
bekerja lebih bertujuan untuk mengekspresikan diri. Bukan sekadar menambah
nafkah membantu suami atau untuk menambah uang saku. Istri di zaman sekarang
sudah berpendidikan tinggi sehingga sayang kemampuan tersebut tidak
dimanfaatkan oleh dirinya, keluarganya, dan masyarakat. Jadi, bisa saja istri
bekerja menjadi tolok ukur ideal sebuah rumah tangga, asal kalau pun tidak
bekerja kondisi keluarga secara keuangan tidak goyah.
Istri yang bekerja membantu keluarga memang
menurut kebanyakan orang memang bukan kondisi ideal. Artinya jika istri tadi
ditanyakan apakah kalau suaminya sudah sangat berkecukupan ia masih mau bekerja?
Memang tidak semua menjawab ya. Ada banyak faktor, misalnya keinginan untuk
tidak bergantung dengan suami apabila kelak suami meninggal usia muda ia masih
bisa mandiri. Namun yang kebanyakan tentu lebih suka berada di rumah mengurus
rumah dan anak-anak serta aktif dalam kegiatan sosial.
Kalau istri bekerja dalam rangka membantu
suami, sementara dirinya ikhlas maka akan tergolong sebagai amal saleh. Namun
ada seorang istri yang merasa perlu berkeluh kesah. Ia bekerja membantu suami,
tapi persoalannya tidak semudah itu. Kasus ibu tersebut cukup pelik untuk
diselesaikan sendiri, setidaknya tanpa berkonsultasi pada pihak lain.
Dari kejadian di atas dapat dianalisa bahwa,
pertama kesibukan ibu itu siang dan malam dengan niat untuk membahagiakan suami
dan putra-putranya ternyata memberikan dampak negatif yang cukup serius bagi
pendidikan dan pendewasaan anak-anak. Disadari atau tidak, mereka kehilangan
kasih sayang orang tua. Kedua, kelemahan suaminya yang tidak mampu tampil
menjadi figur pemimpin rumah tangga. Bahkan tidak bisa menjalankan kewajiban
utamanya, memenuhi nafkah keluarga. Ketiga, keterlambatan dirinya untuk
menyadarkan suami sejak dini bahwa sebagai suami ia wajib mencari nafkah dan
wajib memberikan perhatian kepadanya dan memberi contoh yang baik kepada anak-anak.
Semula ibu tersebut tabah dan tangguh
menghadapi kenyataan hidup. Tapi setelah ia melihat kenyataan anak-anak yang
tidak bisa dibanggakan bahkan menyakitkan dan menjengkelkan, sedang suami pun
tidak dapat mengubah kebiasaan malasnya maka ia menjadi kecewa dan sangat
terpukul. Tentu saja kesedihan dan kekecewaan itu adalah wajar dan manusiawi.
Semua orang yang mengalaminya pasti akan bereaksi sama. Tapi jangan sampai duka
cita yang sedang menimpanya itu menjadikan dirinya kehilangan pegangan dan
kesabaran. Dua puluh tahun bersabar jangan sampai diakhiri dengan sikap yang
sebaliknya.
Yang pertama perlu dilakukan adalah
menyelamatkan anak agar tidak terjerumus lebih dalam ke dalam dunia kelam
narkoba. Pergi ke dokter atau ke terapi masalah kecanduan untuk menyembuhkan
anak tersebut. Itu yang perlu dilakukan agar ia tidak kehilangan anak
kesayangannya.
Yang berikutnya tentu menyadarkan suami.
Meskipun selama ini tentunya ia sudah memberikan nasihat, momen rusaknya anak
bisa menjadi pemicu agar suami mau bangkit. Ibu itu harus mendorong suaminya
untuk tampil sebagai suami yang bertanggung jawab. Ia harus tampil sebagai
pahlawan untuk menyelamatkan keluarganya yang berantakan. Mungkin diperlukan
kesabaran ekstra dari dirinya untuk menghadapi suami yang tidak memiliki kemampuan
dan motivasi sebagai suami yang bertanggung jawab dunia akhirat.
Ibu tersebut tidak boleh berputus asa,
apalagi pergi meninggalkan mereka. Yang pasti hal tersebut tidak akan
menyelesaikan masalah. Bahkan dikhawatirkan akan lebih memperparah keadaan karena
sudah tidak ada lagi yang ditakuti mereka. Ini malah justru akan melahirkan
sejumlah persoalan baru yang lebih serius. Semua itu harus dihadapi dengan
penuh kesabaran dan tawakal kepada Allah. Anak-anak insya Allah masih dapat
diperbaiki asal dirinya mencurahkan perhatian lebih dalam kepada mereka. Rasa
pesimis harus dihilangkan. Jika ia sabar dan tegar, Allah pasti akan
membantunya membukakan jalan keluar yang terbaik.
Mintalah bantuan keluarga, saudara, teman,
atau orang yang berpengaruh untuk bisa mengembalikan motivasi dan optimisme
suaminya. Kalau suami kembali menjadi pemimpin rumah tangga yang bertanggung
jawab, setidaknya satu masalah sudah selesai. Apabila lewat dirinya sudah
sering disampaikan dan tidak dihiraukan, lewat merekalah insya Allah pintu
hidayah akan terbuka.
Tidak lupa ibadah mahdhah (ritual) diperbanyak. Shalat sunah, puasa sunah dan rajin
shadaqah. Terutama pada sepertiga malam terakhir, adalah waktu yang paling
tepat mengadukan nasib kepada Allah dan memohon pertolongan dari-Nya. Doa apa
saja bisa dipanjatkan, baik yang berbahasa Arab atau tak apa berbahasa
Indonesia. Yang diminta adalah anak-anak yang saleh dan suami yang bertanggung jawab
sesuai tuntunan syariat Islam.
Posting Komentar