Apakah perceraian itu adalah jalan terbaik
Allah Mahaadil. Pada hamba-Nya yang satu ia memberikan suatu anugerah
namun tidak memberikan anugerah yang lain. Di satu sisi, ada yang diberikan anugerah
yang ini tapi tidak diberikan yang itu. Memang ada orang yang anugerahnya
banyak, yang ini dikasih yang itu dikasih. Ada sebuah rumah tangga yang dianugerahi
kesakinahan di dalamnya, mereka rukun dan damai namun rezekinya dilihat dari
luar sepertinya kurang. Ada yang dianugerahi istri cantik tapi kurang
pintar. Ada yang dianugerahi suami ganteng tapi kurang setia dan sebagainya.
Untuk ibu yang suaminya saleh tapi impoten, sebetulnya sama. Ia dianugerahi
sesuatu yang berharga, yaitu suami saleh tapi masalah kepuasan seksual ia tidak
diberikan. Jika suatu kondisi masih mungkin diubah maka menjadi usaha seseorang
untuk meraih apa yang tidak diberikan Allah kepadanya. Insya Allah dengan
kesungguhan hati meraihnya Allah akan memberikan anugerah itu.
Apa yang telah dijalani bersama selama 20
tahun menjadi istri dari suami yang tidak dalam melaksanakan kewajiban
biologisnya merupakan sesuatu yang luar biasa. Kebersamaan dalam waktu yang
lama tersebut patut disyukuri. Tidak banyak wanita yang bisa sabar seperti
dirinya. Kalau ditanyakan tentang boleh tidaknya ia
meminta cerai kepada sang suami, tentu saja boleh. Ia mempunyai hak untuk
meminta cerai yang dalam Islam disebut dengan khulu’.
Namun apakah perceraian itu merupakan
jalan terbaik bagi sang ibu yang sudah bersabar selama 20 tahun? Apakah ia
tidak ingin menyelesaikan hingga akhir hayatnya untuk bersabar? Apakah
kebersamaan dalam waktu yang relatif lama tersebut begitu saja akan berakhir?
Memang memutuskan hal tersebut tidak mudah. Harus dipikirkan masak-masak.
Mengapa demikian?
Sebab, ibu ini sudah lulus untuk ujian 20
tahun pertama. Ini tentu bukan masalah yang gampang. Jika beliau lulus untuk
ujian berikutnya maka ia akan masuk surga karena sudah bersabar menjadi istri
yang baik dari seorang pria yang saleh. Memang pergi meninggalkan suami juga
belum tentu tidak masuk surga. Sepanjang nyawa masih dikandung badan, peluang
untuk masuk surga masih ada. Namun ia harus menyadari bahwa selama ini dengan
dirinya bersabar, memang dirinya tidak mendapatkan kenikmatan seksual tapi
kenikmatan dan kegembiraan telah datang dari arah yang tidak ia duga-duga, yang
setara dengan kenikmatan yang diperoleh wanita lain dalam hal urusan biologis.
Tidak cuma dirinya yang mendapatkan kebaikan dari suaminya. Bisa jadi dengan kesalehan
sang suami keluarga ibu tersebut ikut merasakan kebaikannya pula, begitu juga
masyarakat sekitar. Mereka mendapatkan manfaat dengan tinggal dan menetapnya
sang suami itu di kompleks tersebut.
Suami yang impoten dan tidak dapat
memenuhi hasrat istri sebetulnya bukan sepenuhnya salahnya. Kelemahan ini
hanyalah salah satu cobaan dan ujian bagi keduanya, terutama dari sang istri
agar dapat mencapai kedudukan (maqam) yang lebih baik. Dengan bersabar,
barangkali itulah jalan bagi sang istri tersebut untuk masuk ke surga.
Ibu tersebut sebenarnya telah lulus ujian
selama 20 tahun ini. Bisakah ia lulus ujian di tahun-tahun berikutnya? Memang hidup penuh ujian dan setiap manusia harus berusaha agar lulus ujian
sampai mati. Kalau di dunia sekolah, belum lulus sudah keluar namanya drop
out. Kita tidak ingin di-drop out Allah gara-gara tidak lulus
menghadapi ujian setelah sekian lama kita melewatinya. Bahkan, yang terakhir
itulah yang ditunggu-tunggu, yaitu husnul khatimah. Pada saat menjelang
kematian kita tengah melakukan amal kebaikan dan pergi meninggalkan dunia yang
fana ini dalam keadaan baik. Rasulullah saw. menyatakan:
”Ada orang yang beramal selama hidupnya
dengan amalan ahli surga. Ketika menjelang kematiannya ia mengerjakan perbuatan
ahli neraka maka masuklah ia ke dalam neraka. Ada pula orang yang selama
hidupnya beramal dengan amal ahli neraka, menjelang maut ia mengerjakan amalan
ahli surga, maka ia termasuk ahli surga.” (Al Hadits)
Jadi, prestasi itu harus dijaga hingga akhir
hayat, yang secara perhitungan manusia, dalam kasus ini
tidak lama lagi. Lagi pula, dilihat dari segi etika, tegakah kita meninggalkan
suami yang demikian baik hanya karena kita ingin mengejar sesuatu yang tidak
dimiliki suami tersebut. Sampai hatikah kita melepas suami yang mencintai
dengan tulus ikhlas serta berjuang keras demi keluarga? Padahal kekurangan yang
ia miliki bukan salah dirinya. Bagaimana jika ia sepeninggalan istrinya menjadi
stres dan mencari pelampiasan dengan lari ke lembah maksiat. Akan banyak
kerugian yang diderita. Baik oleh pria tersebut, sang mantan istri, keluarganya,
dan juga lingkungan masyarakat sekitarnya. Tentu ibu itu ikut andil perbuatan
dosa mantan suaminya itu. Begitu pula dengan dirinya, setelah cerai barangkali
mendapatkan suami yang dapat memuaskan hasratnya. Tapi suami barunya ini bisa
jadi bukan orang yang saleh, sering melakukan kemaksiatan dan kasar terhadap
istrinya. Sementara jika sudah demikian tidak bisa lagi kembali kepada suami
lamanya.
Ustadz Miftah memberikan nasihat, secara
hukum Islam memang sah-sah saja ibu tersebut mengambil solusi meminta cerai
karena ketidakmampuan suaminya. Namun kalau pria yang baik tersebut sudah bukan
suaminya lagi, tentu ibu itu tidak bisa lagi berhubungan seperti dulu karena
terikat dengan rambu-rambu Islam dalam hubungan pria wanita. Antara pria dan
wanita yang bukan muhrim, meskipun pernah menikah, tidak boleh bebas bergaul
sebagaimana muhrim atau suami istri. Sehingga keinginan ibu itu untuk
bersuamikan orang lain tapi masih merawat dan melayani mantan suaminya tidak
bisa diwujudkan sesuai syariat Islam.
Yang perlu dan penting dilakukan adalah
bagaimana menyembuhkan penyakit sang suami dalam hal disfungsi ereksi. Meskipun
sudah lama janganlah berputus asa. Terus berusaha mencari penyembuhan dari para
ahli di bidang tersebut. Apalagi zaman sudah modern sehingga masalah tersebut
mudah diselesaikan. Barangkali yang perlu diperhatikan adalah rasa malu atau
rendah diri suami akibat penyakitnya itu. Istri harus berusaha untuk tetap
memberikan motivasi agar mau berobat. Tidak lupa, selalu berdoa kepada Allah.
Sebab, Allah yang memberi penyakit, Dia pulalah yang mampu mencabutnya. Bukan
dokter, bukan siapa-siapa. Oleh karena itu, shalat tahajud dan minta pertolongan
dari Allah, Yang Mahakuasa insya Allah berhasil.
Selama pengobatan dan usaha menuju
kepada kesembuhan, perlulah tetap menjaga diri. Kesibukan dan kegiatan yang positif akan menghindarkan seseorang kepada
pikiran yang kotor. Apalagi ditambah dengan ibadah puasa Senin-Kamis atau puasa
Dawud, insya Allah permasalahan biologisnya akan dapat dikurangi. Jangan sampai
ada lamunan untuk melakukan perbuatan yang dilarang agama. Tidak perlu ada
bayangan yang berlebihan seolah-olah kalau hajat seksual terpenuhi otomatis
seseorang menjadi bahagia.
Setiap musibah dan kesulitan yang menimpa
seorang hamba yang saleh pasti mengandung hikmah yang bermanfaat. Allah sengaja
telah memberikan itu semua untuk menguji keimanan dan ketulusan amal ibadah
kita. Mungkin hikmah itu di luar jangkauan nalar kita. Tugas kitalah untuk
terus menggali apa hikmah yang Allah ingin berikan kepada kita yang insya Allah
nilainya lebih besar daripada kenikmatan yang kita inginkan.
Posting Komentar