Solusi bagi yang memiliki istri berselingkuh
Istri selingkuh dibalas suami selingkuh. Ini ibarat kecelakaan beruntun. Satu kecelakaan disusul kecelakaan yang
sama. Yang naif adalah, kecelakaan berikutnya sebenarnya bisa dihindari. Tapi
karena telanjur beruntun, tabrak saja. Biar saja saya menabrak mobil di depan,
toh mobil saya juga ditabrak dari belakang. Ia merasa tak bersalah menabrak
karena dirinya telah ditabrak. Sang korban, dalam hal ini suami yang dikhianati
istrinya melakukan hal yang sama. Ia merasa ”legal” melakukan perbuatan
tersebut. Padahal ia bisa saja tidak melakukan hal itu. Artinya, jika
barangkali istri melakukan hal tersebut karena ”tidak disengaja” alias
keteledorannya, suami dengan kesengajaan melakukan hal yang sama.
Kejadian ini tentu sangat naif walaupun kita
tahu kasus seperti ini banyak terjadi. Ada kalanya hanya karena stres, ada
kalanya juga untuk membalas dendam atau sakit hatinya. Seorang istri selingkuh,
entah sudah berhenti atau belum membuat suaminya marah. Tapi barangkali karena
keterbatasan suami, ia diam saja. Pada saatnya yang tepat ia melakukan
pembalasan. Ketika ada seseorang yang bisa diajak selingkuh ia melakukannya.
Barangkali awalnya untuk membuat istri sakit hati sebagaimana dulu perasaannya
pernah dilukai. Namun, namanya juga selingkuh, akhirnya suami tersebut
melakukannya dengan penuh kesungguhan. Artinya ia benar-benar bermain api
dengan wanita tadi.
Meskipun tidak jarang kasus seperti ini kita
temui di masyarakat bukan berarti sebuah pembenaran. Maksudnya sebenarnya kita
semua sudah tahu bahwa melakukan selingkuh karena dirinya merasa dikhianati
bukan perbuatan yang baik walaupun ia merasa tidak bersalah melakukannya.
Perbuatan ini sama saja dalam sebuah perusahaan, ada seorang atau beberapa
karyawan melakukan korupsi. Kemudian sang presiden direktur bukannya menghukum
atau mencegah anak buahnya korupsi tapi justru ia sendiri lalu melakukan hal
yang sama. Sang presiden direktur berpikir, toh anak buah saya banyak yang
melakukannya. Sekalian saja saya korupsi. Jika hal tersebut dilakukan maka
dapat dipastikan runtuhlah perusahaan tersebut.
Dendam jika dibalas dengan dendam pasti tak
akan berakhir sampai kapan pun. Bisa jadi salah satu menang, tapi lebih banyak
kedua-keduanya kalah. Kedua-keduanya hancur berantakan.
Seorang suami ibarat presiden direktur dalam
anak perusahaan. Jika terjadi kesalahan pada anak buahnya, ia wajib menegur,
memberikan peringatan, memberikan hukuman, bahkan bisa saja ia memecat
karyawannya jika kesalahan yang dilakukan sudah sangat fatal. Presiden direktur
dalam sebuah perusahaan berkewajiban menjaga kelangsungan hidup perusahaannya.
Sebab di bawah kepemimpinannya bernaung karyawan lain yang menggantungkan
hidupnya di perusahaan tersebut. Jika perusahaan tersebut bubar, tentu semua
karyawan akan berhenti bekerja dan menganggur. Masih untung kalau mereka tidak
anarkis.
Seorang suami wajib menjaga kelangsungan
kehidupan rumah tangganya. Ia bertanggung jawab terhadap semua tindakan anggota
keluarganya, istri maupun anak-anaknya. Seorang istri yang melakukan kesalahan
pada dasarnya salah suami juga karena ia seharusnya mendidik sang istri agar
berhati-hati dalam melangkah. Ketika ia memberikan izin kepada istrinya untuk
bekerja, seharusnya menjadi tanggung jawab sang suami untuk menjaga dan
mengawasi istrinya agar tidak terjerumus di jurang kemaksiatan. Sebab, ketika
menikah orang tua sang istri menyerahkan sepenuhnya kekuasaan terhadap anaknya,
kepada mantunya itu. Dengan demikian, jika menyuruh atau mengizinkan istrinya
bekerja keluar rumah maka tanggung jawabnya adalah menjaganya. Menjaga dari
kecelakaan fisik, pelecehan seksual, maupun merendahan harga diri. Selain suami
harus memastikan istri berangkat dan pulang kantor dengan selamat, ia harus
mengetahui rekan kerja dan atasan istrinya. Apakah mereka semua orang-orang
baik yang dapat ”dititipi” menjaga istrinya juga? Ataukah mereka termasuk pagar
yang memakan tanaman sendiri? Lingkungan kerja istri harus diperhatikan bagi
suami. Dalam kasus ini, selain istri salah telah melakukan perbuatan selingkuh,
suami juga salah menyerahkan istri kepada orang yang tukang maksiat.
Mungkin penjagaan atas istri tidak perlu
dilakukan seperti seorang baby sitter. Namun bisa dilakukan dengan selalu
berkomunikasi antar mereka dan berkenalan dengan rekan kerjanya. Setelah itu,
kontrol pun harus berjalan secara rutin untuk mencegah hal-hal tertentu yang
sudah jauh menyimpang. Misalnya ketika sang istri menerima hadiah-hadiah dari
atasannya yang dirasa kurang wajar, ia sudah bisa mengambil tindakan tegas pada
waktu itu. Namun barangkali sifat manusia, salah satunya sering bimbang dan
enggan, maka tindakan tersebut tidak dilakukan dan dibiarkan istri menyimpang
lebih jauh. Adakalanya seorang suami berpikiran jahat. Sebenarnya ia sudah tahu
kalau istrinya melakukan penyimpangan tapi ia tidak segera menghentikan. Ia
justru ingin istrinya menyimpang lebih jauh untuk langsung dipukulnya secara
telak. Padahal ketika belum jauh menyimpang, ”diomongin” saja barangkali sudah
cukup menyadarkan.
Maka, kesalahan pertama suami adalah
membiarkan istrinya yang sudah ada sinyal berselingkuh. Ia tutup mata pura-pura
tidak tahu bahwa telah terjadi sesuatu atas istrinya. Ketika semuanya sudah
kelihatan mencolok, muncullah kesalahan suami yang kedua, yaitu ia melakukan
perbuatan yang sama untuk membalas sakit hati kepada istrinya. Ini tentu sangat
naif. Ada sebuah kerusakan, ia bukannya memperbaiki kerusakan tersebut tapi justru
membuat kerusakan di tempat lain. Tindakan ini sungguh tidak bijaksana dan
makin menjerumuskan keluarga dalam dosa dan masalah besar.
Padahal ketika ia mengetahui istrinya
selingkuh, ia sudah berpikir sejak awal kira-kira rumah tangganya mau dibawa ke
mana. Apakah akan dipertahankan ataukah akan diselesaikan. Sebagai manusia
normal, tentu ia ingin mempertahankan rumah tangganya. Sebab, tidak ada rumah
tangga yang sepi dari masalah. Tentu setiap rumah tangga mempunyai masalah
masing-masing, dalam hal ini istrinya selingkuh. Apabila end of mind-nya
adalah rumah tangga harus dipertahankan, maka ia harus berupaya untuk melakukan
hal itu. Dan sudah jelas pasti solusinya bukan melakukan selingkuh lagi. Yang
menjadi pikiran dalam benaknya seharusnya sang istrinya harus kembali ke jalan
yang benar.
Semua upaya suami untuk meluruskan istrinya
harus dilakukan sebelum istri telanjur tidak bisa dipisahkan dengan
selingkuhannya. Suami mesti menyelidiki tanpa bermaksud menginterogasi. Siapa
pun, meskipun istri sendiri tidak akan suka diinterogasi apalagi berkaitan
dengan perbuatannya yang menyimpang. Ia akan defensif mempertahankan harga
dirinya. Jika gagal dalam tahap awal untuk memberi nasihat pada istri maka
proses selanjutnya akan lebih sulit.
Upaya menyelesaikan masalah dengan cara membalas dendam kepada istri dengan melakukan
selingkuh merupakan tindakan yang konyol. Sudah ia kehilangan istri, berdosa
karena lalai menasihati orang yang dalam tanggung jawabnya, dibara oleh api
dendam, dan akhirnya dirinya terjemurus dalam perselingkuhan pula. Ia sudah
hancur tertimpa tangga. Padahal ada sebuah nasihat yang patut direnungkan. Ada
seorang yang saleh merasa bersedih karena istrinya selingkuh. Maka jawab orang
yang dimintai nasihatnya, ”Kesedihan yang terbesar bukan engkau dikhianati.
Tapi engkau mengkhianati itulah kesedihan terbesar.” Memang orang tersebut
sedih istrinya selingkuh. Namun, itu bukan segalanya. Yang paling parah adalah
dirinya sendiri melakukan selingkuh. Sebab, selingkuh pada dasarnya adalah zina
dan melanggar perintah Allah. Kecelakaan mana lagi yang lebih besar daripada
kecelakaan melanggar perintah-perintah Allah.
Namun kondisi tersebut bukan titik terakhir
perjalanan rumah tangga mereka. Dari kehancuran tersebut terbetik satu harapan
bahwa pada akhirnya mereka berdua menjadi menyesal. Penyesalan ini adalah modal
terbesar mereka untuk menyelamatkan pernikahan. Penyesalan ini patut disyukuri
karena mulai dari sinilah mereka bisa membangun rumah tangganya kembali. Tidak
ada gunanya mereka bersitegang, kecuali mereka sudah sepakat untuk bubar. Jika mau bubar pun tentu tidak perlu mencari musuh.
Bubar, bubar saja, asal sesuai syariat.
Setelah mereka sepakat bahwa perkawinan
harus dipertahankan maka mulailah dengan diskusi, musyarawah. Dalam musyawarah
harus disepakati bahwa masing-masing akan mengalah demi mempertahankan bahtera
rumah tangga. Mereka sepakat bahwa demi masa depan anak-anak, masing-masing
harus berusaha mengubah perilaku buruknya dan kemudian menerima satu sama lain.
Kembali ke awal untuk tidak mempersoalkan apa yang telah lalu dan bersama-sama
menyongsong hari esok. Jika ada kepentingan yang sama biasanya kesepakatan akan
berjalan dengan lancar.
Ketika langkah awal ini sudah disepakati,
sebelum beranjak ke langkah berikutnya harus dipastikan bahwa keduanya telah bertobat
kepada Allah. Bukan hanya sekadar menyenangkan suami dan istri atau mengobati
luka masing-masing, tapi juga mohon ampun kepada Allah bahwa mereka telah
melanggar aturan yang telah digariskan-Nya. Taubatan Nashuha, yaitu
menyesal dan tidak akan mengulangi kembali perbuatan itu. Tidak cukup itu,
mereka harus membarengi perbuatan buruk tersebut dengan perbuatan baik agar
dosanya tersapu bersih. Caranya dengan masing-masing menciptakan suasana
harmonis di dalam rumah tangganya. Seorang anak yang memecahkan pot bunga, maka
ia harus membersihkan pecahan pot tersebut dan menyapu tanah yang berceceran.
Ia mestinya juga harus mengganti pot yang baru untuk wadah tanaman tersebut.
Kalau perlu dipasang hiasan, ditambah pupuk, selalu disiram, dan sebagainya.
Langkah selanjutnya, sang suami harus
memutuskan hubungannya dengan rekan sekerja itu. Apa pun yang terjadi, ini
sudah menjadi sebuah kesalahan sehingga ia mau tidak mau harus memutuskan
hubungan itu. Ia harus berjanji agar tidak berhubungan lagi dengan wanita itu.
Kepada atasannya di kantor, kalau memungkinkan minta dipindah ke bagian lain
yang tidak berhubungan dengan wanita tersebut. Sang wanita teman selingkuhnya
juga harus dinasihati bahwa dirinya telah kembali ke jalan yang benar, demikian
pula seharusnya wanita tersebut. Ia yang memulai seharusnya ia yang mengakhiri.
Insya Allah nasihat tersebut jika membuat wanita tersebut sadar, dosanya
memulai perbuatan maksiat akan terhapus.
Sementara sang istri, karena ia
berselingkuh dengan atasannya sebaiknya ia pindah kantor. Jika sang atasan tidak sama-sama tobat, sebaiknya dijauhi saja. Sang istri
sebaiknya tinggal di rumah saja atau mencari pekerjaan di mana aman buat diri
dan akhlaknya. Seperti kisah seorang yang membunuh 100 orang maka selain
bertobat maka ia disarankan untuk meninggalkan kampungnya yang merupakan dunia
hitam baginya. Demikian pula, jika kantor tersebut merupakan tempat yang tidak
kondusif bagi perbuatan baik sebaiknya ditinggalkan, cari tempat lain.
Dalam menuntun langkah-langkah ini suami
harus mempunyai andil yang besar karena ialah yang paling bertanggung jawab
terhadap kerusakan rumah tangga. Demikian pula ialah yang dituntut untuk
membetulkan kerusakan rumah tangganya menjadi rumah tangga yang baik.
Setelah persoalan selesai dan kehidupan mulai
berjalan dengan normal, tidak ada salahnya demi menjadikan pengalaman masa lalu
sebagai pelajaran yang berharga, masing-masing
menggali pasangannya kenapa bisa hal itu terjadi. Misalnya, mengapa sang
istri melakukan perselingkuhan dengan sang atasan. Jika sebab awal adalah suami
harus diungkapkan kepada suaminya sebagai bahan instrospeksi diri. Barangkali
sebabnya, istri sudah capai-capai kerja sampai di rumah dimarah-marahi atau
dicuekin suaminya. Perhatian suami atas istri yang baru bekerja tidak ada.
Bahkan tidak pernah ditanya kondisi kerja maupun rekan-rekannya. Kesulitan apa
yang terjadi di kantornya sehingga bisakah suami membantunya. Semua itu tidak
terjadi komunikasi sehingga istri kemudian mencari pelarian.
Kosongnya diri istri dari perhatian suami
akan tampak dari perilakunya. Sang atasannya yang dasar berperilaku buruk
kemudian memanfaatkan kondisi ini. Ia sangat memahami wanita-wanita yang
membutuhkan belaian kasih sayang namun tidak didapatkan oleh suaminya. Maka
masuklah ia ke dalam kehidupan sang istri dengan memberikan apa yang ia
butuhkan. Di sinilah biasanya perselingkuhan itu terjadi. Seorang pria hidung
belang yang berpengalaman akan dapat memenuhi kekurangan dari apa yang seorang
wanita butuhkan. Oleh karena itu seorang wanita seharusnya berhati-hati dengan
para ”buaya darat” ini. Begitu lengah, mereka akan diterkamnya.
Kedua belah pihak, suami dan istri harus
terbuka. Keduanya harus menginginkan introspeksi diri agar ke depan peristiwa
itu tidak terjadi lagi. Seandainya lalai, harus diakui memang lalai dan
berjanji tidak mengulangi lagi. Jika sengaja, segera minta maaf dan bertobat. Intinya
kedua-duanya mesti sepakat untuk memperbaiki diri dan memulai rumah tangga
dengan cara islami.
Berbagai kebersamaan dalam aktivitas dan
ibadah harus selalu sebagai tindakan preventif. Keduanya harus sepakat untuk
menomorsatukan Allah di atas yang lainnya. Kalau ada rezeki, lakukan ibadah
umrah bersama-sama. Kalau dana tidak mencukupi cukup kebersamaan dalam ibadah
shalat berjamaah sebaiknya sering dilakukan antara suami dan istrinya.
Sebaiknya mereka sama-sama puasa Senin-Kamis untuk menjaga syahwat
masing-masing dan kebersamaan waktu sahur dan berbuka. Tidak lupa menghadiri
pengajian-pengajian majelis taklim di kompleks secara bersama-sama dan berbaur
dengan peserta pengajian lain. Adanya kawan-kawan yang seiman dan rajin
beribadah akan mengingatkan kita masing-masing dan menjaga kelakuan di luar
rumah.
Bagaimna klo Sang suami malah kesalahan istri yg Terus disebut semtara suami sellu brhung dgn selikuhan nya.... Sellu mnyindir sang istri gomong syg sma istri tapi Masih saja día melakukn perselingkuhan,
Bagaimna klo Sang suami malah kesalahan istri yg Terus disebut semtara suami sellu brhung dgn selikuhan nya.... Sellu mnyindir sang istri gomong syg sma istri tapi Masih saja día melakukn perselingkuhan,
Suami berhak ber istri 4..
Istri tak berhak..
Ibarat teko dan cangkir..
1 teko bisa mengisi 4 cangkir..
Tapi 1 cangkir tdk bisa disi 2 teko.. begitulah kodrat perempuan
Posting Komentar