Mendatangkan penengah untuk mencegah proses cerai


Langkah berikutnya jika langkah pertama dan kedua gagal adalah mendatangkan penengah bagi mereka. Artinya pihak ketiga, sebelum ke pengadilan, diikutsertakan. Keduanya, suami dan istri membentuk tim pendamai yang diambil dari wakil masing-masing keluarga. Hal ini sesuai dengan firman Allah di dalam Al-Qur’an:
”Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (an Nisaa’: 35)

Ketika ingin mengekspos problem rumah tangganya sebaiknya ”curhat”-nya silang. Artinya seorang suami sebaiknya curhat ke keluarga istri seperti ayah dan ibu mertuanya. Demikian pula sang istri. Curhat kepada keluarga sendiri pada dasarnya atau sering kali niatnya untuk mencari pembelaan. Jika keduanya sama-sama melakukan hal ini dan kedua keluarga ’termakan’ keterangan masing-masing bisa jadi bukan solusi yang terjadi tapi malah ’peperangan’ besar antar dua keluarga. Mereka tidak saja memisahkan pasangan tersebut tapi juga memisahkan kedua keluarga besarnya. Ini situasi yang lebih buruk apalagi sampai terjadi perceraian. Bisa-bisa kedua keluarga mengharamkan semua keturunannya untuk tidak saling menikah.

Penengah atau pendamai ini sangat bermanfaat terutama jika kesalahan dilakukan oleh suami sedangkan istrinya tidak berdaya. Dengan adaya hakim yang adil, yang bisa mendamaikan kedua belah pihak diharapkan masalahnya selesai sampai di sini. Hakim yang baik akan menyelesaikan secara win-win solution, tanpa melukai dan membuat hilang muka (loosing face) salah satu di antaranya. Penghadiran penengah ini merupakan langkah terakhir yang diupayakan sepasang suami istri untuk menyelamatkan rumah tangganya. Jika penengah atau pendamai ini gagal, maka sebaiknya jika niat mempertahankan rumah tangga masih ada, kembalilah ke langkah awal. Mulai lagi dari musyawarah dan pemberian sanksi. Jika sudah tidak bisa lagi maka langkah perceraian bisa ditempuh untuk menyelamatkan kedua belah pihak termasuk anak-anak di dalamnya.

notaris depok
https://webflow.com/desainrumahcibubur

Pemberian sanksi sebagai solusi sebelum bercerai


Langkah ini harus dilakukan sekiranya langkah pertama, yaitu bermusyawarah tidak memberikan hasil. Problem tetap ada meskipun telah diadakan dialog. Nasihat dan penjelasan tidak diterima. Entah tidak mengaku kebenaran fakta atau mengaku bersalah. Jika langkah pertama tidak mencapai titik temu, maka langkah kedua ini adalah memberikan sanksi bagi yang bersalah. Dalam hal ini suami adalah faktor utama. Inilah bedanya pernikahan Islam dengan non-Muslim. Kalau kita lihat, pernikahan non-Muslim sering diibaratkan sebagai perjanjian sehidup semati bagi kedua mempelai. Mereka mengikat janji untuk selalu saling setia dan berusaha sekuat tenaga mempertahankan rumah tangga. Dalam Islam, perkawinan bukan perjanjian antara mempelai pria dan wanita, tapi akad peralihan tanggung jawab dari orang tua mempelai wanita kepada calon suaminya. Berarti yang selama ini semua perbuatan dan tingkah laku anak perempuan ini menjadi tanggung jawab orang tua, beralih menjadi tanggung jawab suaminya. Gambaran ini sering salah apabila kita saksikan pernikahan-pernikahan dalam cerita sinetron televisi.

Untuk itu, sebagai kepala rumah tangga suami mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap semua tingkah laku orang yang berada dalam kuasanya, yaitu istri dan anak-anaknya. Jika istri menjadi wanita yang salihah, itu adalah berkah bimbingan suaminya. Jika istrinya menjadi wanita yang rusak dan berakhlak bejat, hal itu adalah tanggung jawab suaminya karena sang orang tuanya sudah melimpahkan tanggung jawab itu. Atas tanggung jawab yang besar itu seorang suami diberikan kekuasaan untuk mengatur dan membimbing anggota keluarganya. Ketika sang istri melakukan kesalahan, menjadi kewajibannya untuk memberikan nasihat. Apabila nasihat tidak mempan untuk menyadarkan sang istri maka ia dapat memberikan sanksi. Sanksi seperti apa yang dianjurkan di dalam Islam. Allah berfirman :
”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang salih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya . Sesungguhnya Allah Mahatingi lagi Mahabesar.” (an-Nisaa’: 34)

Sanksi tersebut, pertama, berupa pemisahan diri dari tempat tidur. Mungkin juga bisa pisah rumah jika memungkinkan. Dengan kesendiriannya, seorang istri yang melakukan kesalahan diharapkan dapat menyadari kesalahannya dan memikirkan nasihat suaminya. Dengan merenungkan semua peristiwa sejak mereka pertama kali mengenal, proses pernikahan, bulan madu, hari-hari bahagia, suka dan duka dialami bersama, diharapkan bisa mengubah sikapnya. Situasi tidak lagi emosional seperti saat musyarawah yang gagal dahulu. Masing-masing bisa merenungkan, apa sebaiknya yang harus dilakukan di masa depan. Jika ingin keluarganya dipertahankan, salah satu atau keduanya harus mengalah.

Jika pemisahan ini tidak membuahkan hasil maka tindakan berikutnya yang diperbolehkan oleh agama adalah suami berhak memukul istrinya dengan pukulan yang tidak mencelakakan. Pukulan ini hanyalah sebagai ungkapan bahwa tindakan lisan dengan memberi nasihat tidak dimengerti, memisahkan diri juga tidak disadari, dengan memberikan pukulan insya Allah sang istri bisa sadar. Dengan demikian berarti pukulan tersebut tidak boleh disertai emosi dan menyakiti fisik sang istri. Cukup sebagai pertanda bahwa kelakuan istrinya sudah ’kebangetan’.

Sanksi pukulan inilah yang sering kali memberikan salah pengertian bagi mereka yang tidak mengerti atau orang di luar Islam. Bagi mereka yang tidak suka dengan Islam akan berkata bahwa ini adalah justifikasi Islam mengenai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Padahal sanksi seperti ini tidak sama dengan KDRT yang sering kali terjadi di kalangan masyarakat. Hal ini sama saja dengan memberikan pukulan kepada anak-anak yang setelah usia 10 tahun belum mau melakukan shalat. Semua bentuk sanksi ini pada hakikatnya adalah hukuman yang dapat menyadarkan, bukan sekadar pukulan. Sehingga masing-masinglah yang tahu kadar pukulan yang dapat menyadarkan dan tidak melukai fisik istri tadi.

Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
”Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat  ‘iddah-nya dan hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (ath-Thalaq: 1)

Setelah memberikan sanksi diharapkan keduanya saling mengerti. Masing-masing bisa kembali ke asal agar kehidupan rumah tangga dapat dipertahankan. Istri yang mempunyai kesalahan bisa menyadari dan kembali kepada suaminya.

Sementara, yang jadi persoalan, apa yang sering dialami di masyarakat, sang suamilah yang berbuat kesalahan. Suamilah yang berbuat serong dengan istri orang, sang suamilah yang gemar berjudi dan mabuk-mabukan, sang suamilah yang tidak bertanggung jawab mencari nafkah keluarga dan sebagainya. Terhadap yang demikian maka ada beberapa hal yang bisa dilakukan istri. Yang jelas ia tidak bisa memberikan sanksi seperti pisah ranjang atau memukul suami. Sang istri bisa menyampaikan keluhan tersebut kepada orang tuanya dan sang orang tua, dalam hal ini ayah kembali mempertanyakan tanggung jawab sang suami. Namun bila masalah rumah tangga tidak ingin diketahui pihak lain termasuk orang tua, bisa saja sang istri mengembalikan hak yang diterimanya. Misalnya dengan mengembalikan nafkah yang diterimanya agar sang suami mengerti ketidaksukaan istri terhadap kesalahannya. Dalam hal suami tidak bekerja dan istri yang mencari nafkah, istri boleh saja tidak memberikan penghasilannya kepada suami mengingat itu bukan hal yang wajib baginya. Dalam Islam, harta istri dan suami terpisah sehingga tidak perlu dikhawatirkan suami akan merongrong harta istri. Kalau suami kemudian marah dan melarang istri bekerja maka istri yang tidak bekerja pun tidak bisa mendapatkan penghasilan sehingga sang suami pengangguran tersebut tambah repot.

Memang ’hukuman’ ini tidak seefektif hukuman suami kepada istrinya. Sebab tanggung jawab segala sesuatu ada pada kepala keluarga, yaitu suami. Sementara jika didapati suami yang tidak bertanggung jawab berarti salah pilih suami. Memang ini sangat naif, tetapi perlu diperhatikan. Ketika memilih calon suami, harus benar-benar diperhatikan watak dan akhlak pria calon suaminya ini. Dan ini adalah tanggung jawab yang sangat besar dari seorang ayah kepada anaknya. Seorang tabiin pernah berkata bahwa pernikahan itu sebagaimana engkau menjual budak. Artinya jika budak tersebut mendapat tuan yang baik maka akan baiklah nasibnya, demikian pula sebaliknya. Jadi harus benar-benar diperhatikan sebab nasib anak gadisnya akan berada sepenuhnya di tangan orang ini (suaminya).

Namun jika sudah telanjur maka bagi pihak wanita, langkah pertama yaitu musyawarah di atas menjadi sangat krusial. Ia harus berhasil di tahap satu tersebut karena langkah kedua bagi seorang istri mungkin saja tidak terlalu efektif. Istri bisa saja mengajukan khulu’, yaitu permohonan cerai dari pihak perempuan dan ini statusnya sama dengan cerai. Namun jika masih ingin menyelamatkan perkawinan masih ada satu langkah yang harus dilalui.

Solusi bagi suami jika istri pindah agama


Pindah agama merupakan persoalan yang serius di dalam Islam. Pada dasarnya, harus diakui, kesalahan awal ada di diri Raharjo. Sebagai seorang suami dan kepala rumah tangga ia tidak bertanggung jawab, baik dari segi nafkah maupun pembinaan aqidah anggota keluarganya. Hanya gara-gara dipecat Raharjo menjadi mutung, marah kepada keadaan, dan menjadi apatis.

Untuk menebus kesalahan, Raharjo harus mengembalikan istri dan anaknya kembali ke rumahnya, terutama mengembalikan aqidahnya. Ia harus berusaha mengambil hati dan mengungkapkan bahwa di antara mereka masih ada perasaan cinta. Siska selama menjadi istri Raharjo memang tidak pernah mendapatkan siraman rohani atau pemahaman Islam yang benar sehingga tidak mungkin mengembalikan aqidah Siska dengan cara pahala-siksa, surga-neraka.

Dalam hal ini, rumah tangga Raharjo memang sudah tidak bisa dipertahankan. Begitu Siska meninggalkan agamanya maka gugurlah tali perkawinan keduanya karena salah satu telah murtad. Mencoba mengambil anak agar tidak ikut istri juga susah karena saat ini dirinya tidak berpenghasilan, sementara Siska dan anaknya berada di bawah tanggungan orang tua yang memang kondisi perekonomiannya lebih baik. Tapi tentu hal ini bukan akhir dari segala-galanya, kan. Masih ada yang bisa diperbuat untuk memperbaiki kesalahan Raharjo.

Pertama, Raharjo harus bangkit dari keterpurukan. Ia harus berusaha untuk mencari pekerjaan dan mengembalikan harga dirinya. Namun selama membangun diri, ia harus keep contact dengan istri dan anak-anaknya. Buktikan bahwa dirinya mampu dan bertanggung jawab. Tujuannya adalah untuk keep contact dengan istri dan anaknya agar suatu saat mereka bisa kembali ke dirinya. Selalu mereka diyakinkan bahwa mereka masih satu keluarga. Di samping itu harus dihalangi masuknya pria lain untuk mendekati Siska. Jangan sampai ada orang lain yang satu aqidah dengan mereka masuk dan mempersunting janda muda itu.

Jika suatu saat waktu yang tepat itu tiba, ia bisa melakukan pendekatan lagi kepada sang mantan istri. Ia bisa membujuknya untuk kembali membangun rumah tangga. Pelan-pelan diajarkan pemahaman yang benar mengenai agama dan juga kemuliaan hidup di bawah naungan Islam. Namun ”mainnya” harus cantik. Karena kecurigaan pasti akan timbul di keluarganya, terutama kedua orang tuanya. Dengan akhlak yang baik dan rasa tanggung jawab, insya Allah Siska dan keluarganya bisa kembali. Hal ini juga menjadi pelajaran yang berharga bagi mereka yang mempunyai keluarga mualaf, mereka harus dibina supaya mempunyai aqidah yang kuat. Mereka diharapkan tidak gampang terombang-ambing sekalipun didera masalah ekonomi. Dan lagi, sebagai seorang kepala rumah tangga, tanggung jawab membawa keluarga kepada kebaikan dan menghindari keburukan tidaklah mudah. Allah sendiri sudah memerintahkan hal itu di dalam Al-Qur’an :
”Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka....” (at-Tahrim: 6)

Solusi bagi suami yang memiliki istri yang suka berhutang


Istri tukang ngutang, memang ini problem yang unik. Tapi yang dialami oleh Rudy bukan hanya soal utang, yang ia sendiri bingung bagaimana melunasinya, tapi juga soal kecanduan sang istri kepada Narkoba. Memang kondisi kecanduannya tidak terlalu berat. Artinya, untuk menghentikannya tidak perlu harus dikirim ke panti rehabilitasi. Melly sang istri, menurut perkiraan Rudy, masih bisa disembuhkan jika ditangani secara keras dan disiplin. Rudy sendiri masih bimbang, apakah ia mampu untuk menangani kasus istrinya ini sendiri (dan dibantu oleh keluarganya).

Kondisi berubah menjadi tidak kondusif karena rata-rata orang yang dimintai pendapat menyarankan Rudy untuk menceraikan Melly. Namun kecintaan Rudy yang besar kepada Melly membuat setiap nasihat yang berbau cerai ia abaikan. Malah Rudy kadang berpikiran jelek, mungkin orang-orang menasihatinya untuk menceraikan Melly agar mereka bisa kemudian mengawini Melly.

Nasihat yang masuk rata-rata berbunyi, ”Susah Rud, kalau sudah kecanduan Narkoba.” Atau ”Kalaupun sudah kau sembuhkan, hobinya yang suka ngutang belum tentu sembuh lho.” Atau ”Sudahlah, pragmatis aja. Kau kembalikan ia ke orang tuanya. Toh, orang tuanya masih bekerja,” dan sebagainya. Rudy tidak menghiraukan nasihat-nasihat itu.

Bagaimana pun, mempertahankan pernikahan itu lebih baik daripada bercerai, asal tidak memendam masalah yang prinsip. Rudy sebaiknya tetap mempertahankan pernikahannya dengan cara ia harus tegas dan disiplin menghadapi istrinya. Rasa sayang tidak selalu harus diimplikasikan dengan cara lemah lembut. Keras dan tegas tidak berarti tidak sayang. Tapi justru untuk kebaikan istrinya ia harus melakukan hal itu.

Rudy seyogianya bisa mengonsentrasikan sebagian besar waktunya kepada sang istri. Melly sebaiknya tidak diberikan akses kartu kredit dan sering diberikan pendampingan. Untuk itu ia harus meminta izin kepada atasan untuk tidak banyak meninggalkan kota dalam keperluan dinas. Selain itu, nasihat yang mengkaitkan perbuatan manusia dengan siksa dan pahala harus lebih sering diberikan. Sang istri harus disadarkan bahwa perbuatannya mengonsumsi barang haram tersebut akan membuat api neraka menyiksanya kelak. Kemudian disampaikan juga aturan Islam mengenai utang-mengutang dalam keluarga di mana seorang istri tidak boleh berutang tanpa izin suaminya. Jika hal itu dilakukan berarti termasuk perbuatan durhaka.

Insya Allah, jika dilakukan dengan penuh keikhlasan Melly akan kembali menjadi wanita yang baik. Menjadi seorang Muslimah yang tidak saja cantik, tetapi salihah. Rudy pun harus lebih memperhatikan masalah agama di keluarganya. Semuanya bisa terjadi jika ada komitmen bersama mulai dari Rudy, Melly, dan juga kelak anak-anaknya. Komitmen tersebut adalah keinginan kuat untuk membangun rumah tangga mereka yang didasarkan oleh nilai-nilai keimanan dan akhlakul karimah.

Solusi bagi istri yang ditinggal suaminya gara-gara anaknya cacat


Tentang ibu yang ditinggal suaminya gara-gara suaminya tidak mau mengakui anaknya cacat, kita harus paham bahwa setiap orang tua selalu menginginkan anak-anaknya lahir dan tumbuh normal, sehat, dan baik. Tapi saat kita mendapati nasib pahit dengan lahirnya putra yang tidak normal, kita harus siap menerimanya dengan ridha dan ikhlas. Perlu diingat, anak adalah harta titipan Allah. Seseorang menitipkan barang kepada kita, yang perlu kita lakukan adalah menjaga barang titipan itu sebagai bentuk amanah. Jika kita menjaganya dengan amanah maka sang penitip barang akan memberinya imbalan ketika meminta kembali barang titipannya. Sebagai orang yang ’cuma’ dititipi, tidaklah berhak kita menolak titipan tersebut dan tidak berhak menuntut barang titipan yang bagus. Kalau barang titipannya bagus alhamdulillah, kalau tidak bagus tetap bersyukur bahwa diri kitalah yang dipercaya untuk memelihara amanah tersebut.

Ada beberapa dokter di sebuah rumah sakit diminta menangani masing-masing pasien. Lalu kepala rumah sakit menugaskan seorang dokter untuk menangani pasien yang penyakitnya sudah kronis. Hal ini menunjukkan dokter tersebut merupakan dokter yang luar biasa dan terpercaya. Ketika diamanahi pasien berat ini dengan bangga ia akan menunjukkan bahwa ia bisa menanganinya. Demikian pula dengan seorang ibu yang diamanahi untuk melahirkan dan merawat seorang bayi yang tidak normal. Allah sekali lagi tidak akan membebani hamba-Nya dengan persoalan yang hamba tersebut tidak sanggup memikulnya. Allah berfirman :
”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala  yang diusahakannya dan ia mendapat siksa yang dikerjakannya: "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (al-Baqarah: 286)

Dengan begitu wanita tersebut termasuk wanita pilihan yang diserahi Allah untuk merawat anak tersebut. Wanita tersebut seharusnya bangga dan berusaha sebaik mungkin merawat dan membesarkan anak yang tidak normal tersebut sebagai bentuk tanggung jawab memegang amanah. Pada saatnya nanti ia akan menerima imbalan yang lebih besar dibanding ibu-ibu lain yang anaknya normal, sebagaimana dokter hebat tadi yang berhasil menangani pasien yang sudah kronis tersebut. Di balik pemberian yang tidak menyenangkan selalu ada hikmah besar yang terkandung di dalamnya.

Untuk menerima ujian Allah tersebut sikap sabar dan ridha merupakan syarat utama. Adapun masalah perceraiannya dengan sang suami, tak perlu diratapi. Yang terbaik dilakukan wanita tersebut adalah mengupayakan ketentraman dan kebahagiaan dirinya dan putranya. Insya Allah tidak semua lelaki seperti bekas suaminya itu.

Tentu wanita tersebut harus tetap mempertimbangkan melalui jalur horizontal, yaitu bermusyawarah dengan keluarganya. Juga jalur vertikal dengan beribadah dan shalat istikharah mengharapkan petunjuk dari Allah. Adapun tentang kekhawatirannya akan melahirkan lagi putra yang tidak normal sebaiknya hal tersebut dikonsultasikan kepada dokter ahli kandungan agar dirinya bisa lebih mantap dalam menentukan sikap dan pilihan.

Dan jangan sampai dilupakan, memilih suami kali ini harus dengan berbagai pertimbangan. Sang suami baru tidak saja harus siap menerima dirinya tapi juga harus siap menerima putranya sebagai anak tiri yang harus disayanginya pula. Suami barunya harus siap menerima istri dan anaknya apa adanya. Adapun kalau dirinya memutuskan untuk tidak menikah lagi karena masalah trauma, itupun menjadi haknya. Tentunya setelah dipertimbangkan baik buruknya masak-masak. Sebab, bagaimana pun mempunyai suami itu akan lebih aman dan lebih nyaman. Kalau ada peluang, mengapa tidak dimanfaatkan agar hidupnya bisa kembali bahagia.

Ini solusi bagi istri yang bekerja tapi keluarganya berantakan


Dalam buku Tak Goyah Diterpa Badai dikatakan bahwa setiap pasangan dalam berumah tangga pasti mengharapkan suatu kondisi yang ideal di dalamnya. Sakinah mawaddah wa rahmah. Saling menyayangi dan mengasihi. Saling menunaikan hak dan kewajiban sehingga keduanya berbahagia. Pun kalau sudah ada anak-anak, kebahagiaan itu akan menyebar ke semua anggota keluarga.

Meskipun kadang tidak relevan, orang sering mengaitkan kondisi ideal adalah ayah sebagai kepala rumah tangga mencari nafkah, ibu berada di rumah mengelola rumah dan mendidik anak-anaknya. Lebih jauh, ideal tersebut dirumuskan dengan berkecukupannya penghasilan suami sehingga istri tidak perlu bekerja dan di rumah pun bisa lebih dapat mengembangkan diri dan anak-anak karena pekerjaan rumah sudah dikerjakan oleh pembantu.

Di daerah perkotaan –terlebih di ibu kota-, istri bekerja lebih bertujuan untuk mengekspresikan diri. Bukan sekadar menambah nafkah membantu suami atau untuk menambah uang saku. Istri di zaman sekarang sudah berpendidikan tinggi sehingga sayang kemampuan tersebut tidak dimanfaatkan oleh dirinya, keluarganya, dan masyarakat. Jadi, bisa saja istri bekerja menjadi tolok ukur ideal sebuah rumah tangga, asal kalau pun tidak bekerja kondisi keluarga secara keuangan tidak goyah.

Istri yang bekerja membantu keluarga memang menurut kebanyakan orang memang bukan kondisi ideal. Artinya jika istri tadi ditanyakan apakah kalau suaminya sudah sangat berkecukupan ia masih mau bekerja? Memang tidak semua menjawab ya. Ada banyak faktor, misalnya keinginan untuk tidak bergantung dengan suami apabila kelak suami meninggal usia muda ia masih bisa mandiri. Namun yang kebanyakan tentu lebih suka berada di rumah mengurus rumah dan anak-anak serta aktif dalam kegiatan sosial.

Kalau istri bekerja dalam rangka membantu suami, sementara dirinya ikhlas maka akan tergolong sebagai amal saleh. Namun ada seorang istri yang merasa perlu berkeluh kesah. Ia bekerja membantu suami, tapi persoalannya tidak semudah itu. Kasus ibu tersebut cukup pelik untuk diselesaikan sendiri, setidaknya tanpa berkonsultasi pada pihak lain.

Dari kejadian di atas dapat dianalisa bahwa, pertama kesibukan ibu itu siang dan malam dengan niat untuk membahagiakan suami dan putra-putranya ternyata memberikan dampak negatif yang cukup serius bagi pendidikan dan pendewasaan anak-anak. Disadari atau tidak, mereka kehilangan kasih sayang orang tua. Kedua, kelemahan suaminya yang tidak mampu tampil menjadi figur pemimpin rumah tangga. Bahkan tidak bisa menjalankan kewajiban utamanya, memenuhi nafkah keluarga. Ketiga, keterlambatan dirinya untuk menyadarkan suami sejak dini bahwa sebagai suami ia wajib mencari nafkah dan wajib memberikan perhatian kepadanya dan memberi contoh yang baik kepada anak-anak.

Semula ibu tersebut tabah dan tangguh menghadapi kenyataan hidup. Tapi setelah ia melihat kenyataan anak-anak yang tidak bisa dibanggakan bahkan menyakitkan dan menjengkelkan, sedang suami pun tidak dapat mengubah kebiasaan malasnya maka ia menjadi kecewa dan sangat terpukul. Tentu saja kesedihan dan kekecewaan itu adalah wajar dan manusiawi. Semua orang yang mengalaminya pasti akan bereaksi sama. Tapi jangan sampai duka cita yang sedang menimpanya itu menjadikan dirinya kehilangan pegangan dan kesabaran. Dua puluh tahun bersabar jangan sampai diakhiri dengan sikap yang sebaliknya.

Yang pertama perlu dilakukan adalah menyelamatkan anak agar tidak terjerumus lebih dalam ke dalam dunia kelam narkoba. Pergi ke dokter atau ke terapi masalah kecanduan untuk menyembuhkan anak tersebut. Itu yang perlu dilakukan agar ia tidak kehilangan anak kesayangannya.

Yang berikutnya tentu menyadarkan suami. Meskipun selama ini tentunya ia sudah memberikan nasihat, momen rusaknya anak bisa menjadi pemicu agar suami mau bangkit. Ibu itu harus mendorong suaminya untuk tampil sebagai suami yang bertanggung jawab. Ia harus tampil sebagai pahlawan untuk menyelamatkan keluarganya yang berantakan. Mungkin diperlukan kesabaran ekstra dari dirinya untuk menghadapi suami yang tidak memiliki kemampuan dan motivasi sebagai suami yang bertanggung jawab dunia akhirat.

Ibu tersebut tidak boleh berputus asa, apalagi pergi meninggalkan mereka. Yang pasti hal tersebut tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan dikhawatirkan akan lebih memperparah keadaan karena sudah tidak ada lagi yang ditakuti mereka. Ini malah justru akan melahirkan sejumlah persoalan baru yang lebih serius. Semua itu harus dihadapi dengan penuh kesabaran dan tawakal kepada Allah. Anak-anak insya Allah masih dapat diperbaiki asal dirinya mencurahkan perhatian lebih dalam kepada mereka. Rasa pesimis harus dihilangkan. Jika ia sabar dan tegar, Allah pasti akan membantunya membukakan jalan keluar yang terbaik.

Mintalah bantuan keluarga, saudara, teman, atau orang yang berpengaruh untuk bisa mengembalikan motivasi dan optimisme suaminya. Kalau suami kembali menjadi pemimpin rumah tangga yang bertanggung jawab, setidaknya satu masalah sudah selesai. Apabila lewat dirinya sudah sering disampaikan dan tidak dihiraukan, lewat merekalah insya Allah pintu hidayah akan terbuka.

Tidak lupa ibadah mahdhah (ritual) diperbanyak. Shalat sunah, puasa sunah dan rajin shadaqah. Terutama pada sepertiga malam terakhir, adalah waktu yang paling tepat mengadukan nasib kepada Allah dan memohon pertolongan dari-Nya. Doa apa saja bisa dipanjatkan, baik yang berbahasa Arab atau tak apa berbahasa Indonesia. Yang diminta adalah anak-anak yang saleh dan suami yang bertanggung jawab sesuai tuntunan syariat Islam.

Kembali bahwa perhatian dirinya kepada anak-anak dan suami menjadi faktor peluluh masalah. Anak insya Allah akan memahami keinginan ibunya jika sang ibu memberikan perhatian penuh dan mencurahkan kasih sayangnya. Demikian pula dengan suami, yang selama ini bagaikan gunung es insya Allah akan leleh kebekuannya dan kembali bersemangat.

Apakah perceraian itu adalah jalan terbaik


Allah Mahaadil. Pada hamba-Nya yang satu ia memberikan suatu anugerah namun tidak memberikan anugerah yang lain. Di satu sisi, ada yang diberikan anugerah yang ini tapi tidak diberikan yang itu. Memang ada orang yang anugerahnya banyak, yang ini dikasih yang itu dikasih. Ada sebuah rumah tangga yang dianugerahi kesakinahan di dalamnya, mereka rukun dan damai namun rezekinya dilihat dari luar sepertinya kurang. Ada yang dianugerahi istri cantik tapi kurang pintar. Ada yang dianugerahi suami ganteng tapi kurang setia dan sebagainya. Untuk ibu yang suaminya saleh tapi impoten, sebetulnya sama. Ia dianugerahi sesuatu yang berharga, yaitu suami saleh tapi masalah kepuasan seksual ia tidak diberikan. Jika suatu kondisi masih mungkin diubah maka menjadi usaha seseorang untuk meraih apa yang tidak diberikan Allah kepadanya. Insya Allah dengan kesungguhan hati meraihnya Allah akan memberikan anugerah itu.

Apa yang telah dijalani bersama selama 20 tahun menjadi istri dari suami yang tidak dalam melaksanakan kewajiban biologisnya merupakan sesuatu yang luar biasa. Kebersamaan dalam waktu yang lama tersebut patut disyukuri. Tidak banyak wanita yang bisa sabar seperti dirinya. Kalau ditanyakan tentang boleh tidaknya ia meminta cerai kepada sang suami, tentu saja boleh. Ia mempunyai hak untuk meminta cerai yang dalam Islam disebut dengan khulu’.

Namun apakah perceraian itu merupakan jalan terbaik bagi sang ibu yang sudah bersabar selama 20 tahun? Apakah ia tidak ingin menyelesaikan hingga akhir hayatnya untuk bersabar? Apakah kebersamaan dalam waktu yang relatif lama tersebut begitu saja akan berakhir? Memang memutuskan hal tersebut tidak mudah. Harus dipikirkan masak-masak. Mengapa demikian?

Sebab, ibu ini sudah lulus untuk ujian 20 tahun pertama. Ini tentu bukan masalah yang gampang. Jika beliau lulus untuk ujian berikutnya maka ia akan masuk surga karena sudah bersabar menjadi istri yang baik dari seorang pria yang saleh. Memang pergi meninggalkan suami juga belum tentu tidak masuk surga. Sepanjang nyawa masih dikandung badan, peluang untuk masuk surga masih ada. Namun ia harus menyadari bahwa selama ini dengan dirinya bersabar, memang dirinya tidak mendapatkan kenikmatan seksual tapi kenikmatan dan kegembiraan telah datang dari arah yang tidak ia duga-duga, yang setara dengan kenikmatan yang diperoleh wanita lain dalam hal urusan biologis. Tidak cuma dirinya yang mendapatkan kebaikan dari suaminya. Bisa jadi dengan kesalehan sang suami keluarga ibu tersebut ikut merasakan kebaikannya pula, begitu juga masyarakat sekitar. Mereka mendapatkan manfaat dengan tinggal dan menetapnya sang suami itu di kompleks tersebut.

Suami yang impoten dan tidak dapat memenuhi hasrat istri sebetulnya bukan sepenuhnya salahnya. Kelemahan ini hanyalah salah satu cobaan dan ujian bagi keduanya, terutama dari sang istri agar dapat mencapai kedudukan (maqam) yang lebih baik. Dengan bersabar, barangkali itulah jalan bagi sang istri tersebut untuk masuk ke surga.

Ibu tersebut sebenarnya telah lulus ujian selama 20 tahun ini. Bisakah ia lulus ujian di tahun-tahun berikutnya? Memang hidup penuh ujian dan setiap manusia harus berusaha agar lulus ujian sampai mati. Kalau di dunia sekolah, belum lulus sudah keluar namanya drop out. Kita tidak ingin di-drop out Allah gara-gara tidak lulus menghadapi ujian setelah sekian lama kita melewatinya. Bahkan, yang terakhir itulah yang ditunggu-tunggu, yaitu husnul khatimah. Pada saat menjelang kematian kita tengah melakukan amal kebaikan dan pergi meninggalkan dunia yang fana ini dalam keadaan baik. Rasulullah saw. menyatakan:
”Ada orang yang beramal selama hidupnya dengan amalan ahli surga. Ketika menjelang kematiannya ia mengerjakan perbuatan ahli neraka maka masuklah ia ke dalam neraka. Ada pula orang yang selama hidupnya beramal dengan amal ahli neraka, menjelang maut ia mengerjakan amalan ahli surga, maka ia termasuk ahli surga.” (Al Hadits)

Jadi, prestasi itu harus dijaga hingga akhir hayat, yang                                                                                              secara perhitungan manusia, dalam kasus ini tidak lama lagi. Lagi pula, dilihat dari segi etika, tegakah kita meninggalkan suami yang demikian baik hanya karena kita ingin mengejar sesuatu yang tidak dimiliki suami tersebut. Sampai hatikah kita melepas suami yang mencintai dengan tulus ikhlas serta berjuang keras demi keluarga? Padahal kekurangan yang ia miliki bukan salah dirinya. Bagaimana jika ia sepeninggalan istrinya menjadi stres dan mencari pelampiasan dengan lari ke lembah maksiat. Akan banyak kerugian yang diderita. Baik oleh pria tersebut, sang mantan istri, keluarganya, dan juga lingkungan masyarakat sekitarnya. Tentu ibu itu ikut andil perbuatan dosa mantan suaminya itu. Begitu pula dengan dirinya, setelah cerai barangkali mendapatkan suami yang dapat memuaskan hasratnya. Tapi suami barunya ini bisa jadi bukan orang yang saleh, sering melakukan kemaksiatan dan kasar terhadap istrinya. Sementara jika sudah demikian tidak bisa lagi kembali kepada suami lamanya.

Ustadz Miftah memberikan nasihat, secara hukum Islam memang sah-sah saja ibu tersebut mengambil solusi meminta cerai karena ketidakmampuan suaminya. Namun kalau pria yang baik tersebut sudah bukan suaminya lagi, tentu ibu itu tidak bisa lagi berhubungan seperti dulu karena terikat dengan rambu-rambu Islam dalam hubungan pria wanita. Antara pria dan wanita yang bukan muhrim, meskipun pernah menikah, tidak boleh bebas bergaul sebagaimana muhrim atau suami istri. Sehingga keinginan ibu itu untuk bersuamikan orang lain tapi masih merawat dan melayani mantan suaminya tidak bisa diwujudkan sesuai syariat Islam.

Yang perlu dan penting dilakukan adalah bagaimana menyembuhkan penyakit sang suami dalam hal disfungsi ereksi. Meskipun sudah lama janganlah berputus asa. Terus berusaha mencari penyembuhan dari para ahli di bidang tersebut. Apalagi zaman sudah modern sehingga masalah tersebut mudah diselesaikan. Barangkali yang perlu diperhatikan adalah rasa malu atau rendah diri suami akibat penyakitnya itu. Istri harus berusaha untuk tetap memberikan motivasi agar mau berobat. Tidak lupa, selalu berdoa kepada Allah. Sebab, Allah yang memberi penyakit, Dia pulalah yang mampu mencabutnya. Bukan dokter, bukan siapa-siapa. Oleh karena itu, shalat tahajud dan minta pertolongan dari Allah, Yang Mahakuasa insya Allah berhasil.

Selama pengobatan dan usaha menuju kepada kesembuhan, perlulah tetap menjaga diri. Kesibukan dan kegiatan yang positif akan menghindarkan seseorang kepada pikiran yang kotor. Apalagi ditambah dengan ibadah puasa Senin-Kamis atau puasa Dawud, insya Allah permasalahan biologisnya akan dapat dikurangi. Jangan sampai ada lamunan untuk melakukan perbuatan yang dilarang agama. Tidak perlu ada bayangan yang berlebihan seolah-olah kalau hajat seksual terpenuhi otomatis seseorang menjadi bahagia.

Setiap musibah dan kesulitan yang menimpa seorang hamba yang saleh pasti mengandung hikmah yang bermanfaat. Allah sengaja telah memberikan itu semua untuk menguji keimanan dan ketulusan amal ibadah kita. Mungkin hikmah itu di luar jangkauan nalar kita. Tugas kitalah untuk terus menggali apa hikmah yang Allah ingin berikan kepada kita yang insya Allah nilainya lebih besar daripada kenikmatan yang kita inginkan.

Solusi bagi yang memiliki istri berselingkuh


Istri selingkuh dibalas suami selingkuh. Ini ibarat kecelakaan beruntun. Satu kecelakaan disusul kecelakaan yang sama. Yang naif adalah, kecelakaan berikutnya sebenarnya bisa dihindari. Tapi karena telanjur beruntun, tabrak saja. Biar saja saya menabrak mobil di depan, toh mobil saya juga ditabrak dari belakang. Ia merasa tak bersalah menabrak karena dirinya telah ditabrak. Sang korban, dalam hal ini suami yang dikhianati istrinya melakukan hal yang sama. Ia merasa ”legal” melakukan perbuatan tersebut. Padahal ia bisa saja tidak melakukan hal itu. Artinya, jika barangkali istri melakukan hal tersebut karena ”tidak disengaja” alias keteledorannya, suami dengan kesengajaan melakukan hal yang sama.

Kejadian ini tentu sangat naif walaupun kita tahu kasus seperti ini banyak terjadi. Ada kalanya hanya karena stres, ada kalanya juga untuk membalas dendam atau sakit hatinya. Seorang istri selingkuh, entah sudah berhenti atau belum membuat suaminya marah. Tapi barangkali karena keterbatasan suami, ia diam saja. Pada saatnya yang tepat ia melakukan pembalasan. Ketika ada seseorang yang bisa diajak selingkuh ia melakukannya. Barangkali awalnya untuk membuat istri sakit hati sebagaimana dulu perasaannya pernah dilukai. Namun, namanya juga selingkuh, akhirnya suami tersebut melakukannya dengan penuh kesungguhan. Artinya ia benar-benar bermain api dengan wanita tadi.

Meskipun tidak jarang kasus seperti ini kita temui di masyarakat bukan berarti sebuah pembenaran. Maksudnya sebenarnya kita semua sudah tahu bahwa melakukan selingkuh karena dirinya merasa dikhianati bukan perbuatan yang baik walaupun ia merasa tidak bersalah melakukannya. Perbuatan ini sama saja dalam sebuah perusahaan, ada seorang atau beberapa karyawan melakukan korupsi. Kemudian sang presiden direktur bukannya menghukum atau mencegah anak buahnya korupsi tapi justru ia sendiri lalu melakukan hal yang sama. Sang presiden direktur berpikir, toh anak buah saya banyak yang melakukannya. Sekalian saja saya korupsi. Jika hal tersebut dilakukan maka dapat dipastikan runtuhlah perusahaan tersebut.

Dendam jika dibalas dengan dendam pasti tak akan berakhir sampai kapan pun. Bisa jadi salah satu menang, tapi lebih banyak kedua-keduanya kalah. Kedua-keduanya hancur berantakan.

Seorang suami ibarat presiden direktur dalam anak perusahaan. Jika terjadi kesalahan pada anak buahnya, ia wajib menegur, memberikan peringatan, memberikan hukuman, bahkan bisa saja ia memecat karyawannya jika kesalahan yang dilakukan sudah sangat fatal. Presiden direktur dalam sebuah perusahaan berkewajiban menjaga kelangsungan hidup perusahaannya. Sebab di bawah kepemimpinannya bernaung karyawan lain yang menggantungkan hidupnya di perusahaan tersebut. Jika perusahaan tersebut bubar, tentu semua karyawan akan berhenti bekerja dan menganggur. Masih untung kalau mereka tidak anarkis.

Seorang suami wajib menjaga kelangsungan kehidupan rumah tangganya. Ia bertanggung jawab terhadap semua tindakan anggota keluarganya, istri maupun anak-anaknya. Seorang istri yang melakukan kesalahan pada dasarnya salah suami juga karena ia seharusnya mendidik sang istri agar berhati-hati dalam melangkah. Ketika ia memberikan izin kepada istrinya untuk bekerja, seharusnya menjadi tanggung jawab sang suami untuk menjaga dan mengawasi istrinya agar tidak terjerumus di jurang kemaksiatan. Sebab, ketika menikah orang tua sang istri menyerahkan sepenuhnya kekuasaan terhadap anaknya, kepada mantunya itu. Dengan demikian, jika menyuruh atau mengizinkan istrinya bekerja keluar rumah maka tanggung jawabnya adalah menjaganya. Menjaga dari kecelakaan fisik, pelecehan seksual, maupun merendahan harga diri. Selain suami harus memastikan istri berangkat dan pulang kantor dengan selamat, ia harus mengetahui rekan kerja dan atasan istrinya. Apakah mereka semua orang-orang baik yang dapat ”dititipi” menjaga istrinya juga? Ataukah mereka termasuk pagar yang memakan tanaman sendiri? Lingkungan kerja istri harus diperhatikan bagi suami. Dalam kasus ini, selain istri salah telah melakukan perbuatan selingkuh, suami juga salah menyerahkan istri kepada orang yang tukang maksiat.

Mungkin penjagaan atas istri tidak perlu dilakukan seperti seorang baby sitter. Namun bisa dilakukan dengan selalu berkomunikasi antar mereka dan berkenalan dengan rekan kerjanya. Setelah itu, kontrol pun harus berjalan secara rutin untuk mencegah hal-hal tertentu yang sudah jauh menyimpang. Misalnya ketika sang istri menerima hadiah-hadiah dari atasannya yang dirasa kurang wajar, ia sudah bisa mengambil tindakan tegas pada waktu itu. Namun barangkali sifat manusia, salah satunya sering bimbang dan enggan, maka tindakan tersebut tidak dilakukan dan dibiarkan istri menyimpang lebih jauh. Adakalanya seorang suami berpikiran jahat. Sebenarnya ia sudah tahu kalau istrinya melakukan penyimpangan tapi ia tidak segera menghentikan. Ia justru ingin istrinya menyimpang lebih jauh untuk langsung dipukulnya secara telak. Padahal ketika belum jauh menyimpang, ”diomongin” saja barangkali sudah cukup menyadarkan.

Maka, kesalahan pertama suami adalah membiarkan istrinya yang sudah ada sinyal berselingkuh. Ia tutup mata pura-pura tidak tahu bahwa telah terjadi sesuatu atas istrinya. Ketika semuanya sudah kelihatan mencolok, muncullah kesalahan suami yang kedua, yaitu ia melakukan perbuatan yang sama untuk membalas sakit hati kepada istrinya. Ini tentu sangat naif. Ada sebuah kerusakan, ia bukannya memperbaiki kerusakan tersebut tapi justru membuat kerusakan di tempat lain. Tindakan ini sungguh tidak bijaksana dan makin menjerumuskan keluarga dalam dosa dan masalah besar.

Padahal ketika ia mengetahui istrinya selingkuh, ia sudah berpikir sejak awal kira-kira rumah tangganya mau dibawa ke mana. Apakah akan dipertahankan ataukah akan diselesaikan. Sebagai manusia normal, tentu ia ingin mempertahankan rumah tangganya. Sebab, tidak ada rumah tangga yang sepi dari masalah. Tentu setiap rumah tangga mempunyai masalah masing-masing, dalam hal ini istrinya selingkuh. Apabila end of mind-nya adalah rumah tangga harus dipertahankan, maka ia harus berupaya untuk melakukan hal itu. Dan sudah jelas pasti solusinya bukan melakukan selingkuh lagi. Yang menjadi pikiran dalam benaknya seharusnya sang istrinya harus kembali ke jalan yang benar.

Semua upaya suami untuk meluruskan istrinya harus dilakukan sebelum istri telanjur tidak bisa dipisahkan dengan selingkuhannya. Suami mesti menyelidiki tanpa bermaksud menginterogasi. Siapa pun, meskipun istri sendiri tidak akan suka diinterogasi apalagi berkaitan dengan perbuatannya yang menyimpang. Ia akan defensif mempertahankan harga dirinya. Jika gagal dalam tahap awal untuk memberi nasihat pada istri maka proses selanjutnya akan lebih sulit.

Upaya menyelesaikan masalah dengan cara  membalas dendam kepada istri dengan melakukan selingkuh merupakan tindakan yang konyol. Sudah ia kehilangan istri, berdosa karena lalai menasihati orang yang dalam tanggung jawabnya, dibara oleh api dendam, dan akhirnya dirinya terjemurus dalam perselingkuhan pula. Ia sudah hancur tertimpa tangga. Padahal ada sebuah nasihat yang patut direnungkan. Ada seorang yang saleh merasa bersedih karena istrinya selingkuh. Maka jawab orang yang dimintai nasihatnya, ”Kesedihan yang terbesar bukan engkau dikhianati. Tapi engkau mengkhianati itulah kesedihan terbesar.” Memang orang tersebut sedih istrinya selingkuh. Namun, itu bukan segalanya. Yang paling parah adalah dirinya sendiri melakukan selingkuh. Sebab, selingkuh pada dasarnya adalah zina dan melanggar perintah Allah. Kecelakaan mana lagi yang lebih besar daripada kecelakaan melanggar perintah-perintah Allah.

Namun kondisi tersebut bukan titik terakhir perjalanan rumah tangga mereka. Dari kehancuran tersebut terbetik satu harapan bahwa pada akhirnya mereka berdua menjadi menyesal. Penyesalan ini adalah modal terbesar mereka untuk menyelamatkan pernikahan. Penyesalan ini patut disyukuri karena mulai dari sinilah mereka bisa membangun rumah tangganya kembali. Tidak ada gunanya mereka bersitegang, kecuali mereka sudah sepakat untuk bubar. Jika mau bubar pun tentu tidak perlu mencari musuh. Bubar, bubar saja, asal sesuai syariat.

Setelah mereka sepakat bahwa perkawinan harus dipertahankan maka mulailah dengan diskusi, musyarawah. Dalam musyawarah harus disepakati bahwa masing-masing akan mengalah demi mempertahankan bahtera rumah tangga. Mereka sepakat bahwa demi masa depan anak-anak, masing-masing harus berusaha mengubah perilaku buruknya dan kemudian menerima satu sama lain. Kembali ke awal untuk tidak mempersoalkan apa yang telah lalu dan bersama-sama menyongsong hari esok. Jika ada kepentingan yang sama biasanya kesepakatan akan berjalan dengan lancar.

Ketika langkah awal ini sudah disepakati, sebelum beranjak ke langkah berikutnya harus dipastikan bahwa keduanya telah bertobat kepada Allah. Bukan hanya sekadar menyenangkan suami dan istri atau mengobati luka masing-masing, tapi juga mohon ampun kepada Allah bahwa mereka telah melanggar aturan yang telah digariskan-Nya. Taubatan Nashuha, yaitu menyesal dan tidak akan mengulangi kembali perbuatan itu. Tidak cukup itu, mereka harus membarengi perbuatan buruk tersebut dengan perbuatan baik agar dosanya tersapu bersih. Caranya dengan masing-masing menciptakan suasana harmonis di dalam rumah tangganya. Seorang anak yang memecahkan pot bunga, maka ia harus membersihkan pecahan pot tersebut dan menyapu tanah yang berceceran. Ia mestinya juga harus mengganti pot yang baru untuk wadah tanaman tersebut. Kalau perlu dipasang hiasan, ditambah pupuk, selalu disiram, dan sebagainya.

Langkah selanjutnya, sang suami harus memutuskan hubungannya dengan rekan sekerja itu. Apa pun yang terjadi, ini sudah menjadi sebuah kesalahan sehingga ia mau tidak mau harus memutuskan hubungan itu. Ia harus berjanji agar tidak berhubungan lagi dengan wanita itu. Kepada atasannya di kantor, kalau memungkinkan minta dipindah ke bagian lain yang tidak berhubungan dengan wanita tersebut. Sang wanita teman selingkuhnya juga harus dinasihati bahwa dirinya telah kembali ke jalan yang benar, demikian pula seharusnya wanita tersebut. Ia yang memulai seharusnya ia yang mengakhiri. Insya Allah nasihat tersebut jika membuat wanita tersebut sadar, dosanya memulai perbuatan maksiat akan terhapus.

Sementara sang istri, karena ia berselingkuh dengan atasannya sebaiknya ia pindah kantor. Jika sang atasan tidak sama-sama tobat, sebaiknya dijauhi saja. Sang istri sebaiknya tinggal di rumah saja atau mencari pekerjaan di mana aman buat diri dan akhlaknya. Seperti kisah seorang yang membunuh 100 orang maka selain bertobat maka ia disarankan untuk meninggalkan kampungnya yang merupakan dunia hitam baginya. Demikian pula, jika kantor tersebut merupakan tempat yang tidak kondusif bagi perbuatan baik sebaiknya ditinggalkan, cari tempat lain.

Dalam menuntun langkah-langkah ini suami harus mempunyai andil yang besar karena ialah yang paling bertanggung jawab terhadap kerusakan rumah tangga. Demikian pula ialah yang dituntut untuk membetulkan kerusakan rumah tangganya menjadi rumah tangga yang baik.

Setelah persoalan selesai dan kehidupan mulai berjalan dengan normal, tidak ada salahnya demi menjadikan pengalaman masa lalu sebagai pelajaran yang berharga, masing-masing  menggali pasangannya kenapa bisa hal itu terjadi. Misalnya, mengapa sang istri melakukan perselingkuhan dengan sang atasan. Jika sebab awal adalah suami harus diungkapkan kepada suaminya sebagai bahan instrospeksi diri. Barangkali sebabnya, istri sudah capai-capai kerja sampai di rumah dimarah-marahi atau dicuekin suaminya. Perhatian suami atas istri yang baru bekerja tidak ada. Bahkan tidak pernah ditanya kondisi kerja maupun rekan-rekannya. Kesulitan apa yang terjadi di kantornya sehingga bisakah suami membantunya. Semua itu tidak terjadi komunikasi sehingga istri kemudian mencari pelarian.

Kosongnya diri istri dari perhatian suami akan tampak dari perilakunya. Sang atasannya yang dasar berperilaku buruk kemudian memanfaatkan kondisi ini. Ia sangat memahami wanita-wanita yang membutuhkan belaian kasih sayang namun tidak didapatkan oleh suaminya. Maka masuklah ia ke dalam kehidupan sang istri dengan memberikan apa yang ia butuhkan. Di sinilah biasanya perselingkuhan itu terjadi. Seorang pria hidung belang yang berpengalaman akan dapat memenuhi kekurangan dari apa yang seorang wanita butuhkan. Oleh karena itu seorang wanita seharusnya berhati-hati dengan para ”buaya darat” ini. Begitu lengah, mereka akan diterkamnya.

Kedua belah pihak, suami dan istri harus terbuka. Keduanya harus menginginkan introspeksi diri agar ke depan peristiwa itu tidak terjadi lagi. Seandainya lalai, harus diakui memang lalai dan berjanji tidak mengulangi lagi. Jika sengaja, segera minta maaf dan bertobat. Intinya kedua-duanya mesti sepakat untuk memperbaiki diri dan memulai rumah tangga dengan cara islami.

Berbagai kebersamaan dalam aktivitas dan ibadah harus selalu sebagai tindakan preventif. Keduanya harus sepakat untuk menomorsatukan Allah di atas yang lainnya. Kalau ada rezeki, lakukan ibadah umrah bersama-sama. Kalau dana tidak mencukupi cukup kebersamaan dalam ibadah shalat berjamaah sebaiknya sering dilakukan antara suami dan istrinya. Sebaiknya mereka sama-sama puasa Senin-Kamis untuk menjaga syahwat masing-masing dan kebersamaan waktu sahur dan berbuka. Tidak lupa menghadiri pengajian-pengajian majelis taklim di kompleks secara bersama-sama dan berbaur dengan peserta pengajian lain. Adanya kawan-kawan yang seiman dan rajin beribadah akan mengingatkan kita masing-masing dan menjaga kelakuan di luar rumah.

Seperti tanaman, keharmonisan rumah tangga kemudian baru dipupuk. Kalau tidak maka akan gersang, lama-lama mati. Cara memupuk dengan memberikan kegiatan bersama yang menyenangkan. Misalnya dengan rekreasi bersama keluarga, makan di restoran yang dapat membangkitkan kemesraan keduanya, saling memberikan hadiah, sering bergurau, dan sebagainya. Satu kata sepakat lagi yang harus dilakukan oleh suami istri tersebut adalah bagaimanapun kondisinya, tidak akan mengungkit-ungkit kembali masa lalu. Masa lalu tersebut cukup sebagai bahan pelajaran bahwa kenikmatan sejenak itu hanya akan merusak kehidupannya sepanjang masa apabila tidak segera dihentikan. 

Konsekuensi Talak Tiga dalam perceraian



Menurut Ustadz Miftah Faridl, pada dasarnya suatu perkawinan itu hendaknya berlangsung seumur hidup. Artinya seorang Muslim dalam membangun rumah tangga hendaknya diusahakan untuk tidak berakhir dengan perceraian. Kecuali karena salah seorang di antara suami atau istri ada yang wafat sebagaimana di atas. Allah berfirman:
”Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (an-Nisaa’: 19)

Cerai untuk kasus inilah yang disebut Rasulullah saw. sebagai perbuatan yang halal tapi dibenci Allah. Dalam haditsnya beliau saw. bersabda:
”Perbuatan halal yang paling dimurkai Allah adalah cerai.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Kenyataan yang terjadi adalah kehidupan rumah tangga tidak selalu sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masing-masing pasangan. Maka Islam memberikan solusi agar manusia tidak menjadi tersiksa sebagai akibat dari pernikahannya itu dengan jalan cerai. Dengan demikian kebolehan menjatuhkan cerai dan bentuk-bentuk perceraian lainnya bersifat darurat. Artinya perbuatan tersebut terpaksa harus dilakukan karena tidak ada jalan lain yang lebih tepat dan lebih maslahat. Sebab pada dasarnya perkawinan itu adalah sesuatu yang agung dan mulia serta hendaknya dipelihara untuk selama-lamanya.

Jika telah terjadi perceraian maka berlakulah ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1.      Suami istri boleh kembali tanpa akad nikah baru. Apabila talak tersebut belum terjadi tiga kali dan istri masih dalam masa iddah. Hal tersebut dikemukakan Allah di dalam Al-Qur’an :
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri dari tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka  menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya . Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (al-Baqarah: 228)

Ayat berikutnya menyatakan :
”Talak dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Baqarah: 229)

2.      Suami istri boleh kembali dengan akad nikah baru apabila talak tersebut belum tiga kali dan telah selesai masa iddah.
3.      Suami istri tidak boleh kembali (sebagai suami istri) apabila telah terjadi tiga kali talak (sering disebut sebagai ”Talak Tiga”) kecuali istri tersebut telah menikah dengan pria lain yang kemudian diceraikan kembali. Namun demikian jika pernikahan dengan pria lain dilakukan dengan rekayasa agar bisa balik lagi ke suami asal maka pernikahannya termasuk pernikahan yang diharamkan. Allah berfirman :
”Kemudian jika si suami menalaknya , maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga ia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang  mengetahui.” (al-Baqarah: 230)

Yang dimaksud talak tiga di sini yaitu suami sudah cerai tiga kali berturut-turut (nikah kemudian cerai, rujuk kemudian cerai lagi, dan rujuk kemudian cerai lagi). Adapun talak tiga yang dinyatakan dalam satu kali ucapan seperti seorang suami menyatakan ”Engkau aku cerai! Engkau aku cerai! Engkau aku cerai!” menjadi bahan perbedaan pendapat para ulama. Ada yang berlaku tiga kali talak dan ada yang berpendapat hanya berlaku satu kali talak. Ada sebuah hadits menyebutkan, Ibnu Abbas berkata, ”Pada masa Rasulullah saw. dan masa Abu Bakar, dan dua tahun pada masa khalifah Umar, talak tiga itu berlaku satu. Maka Umar berkata, ’Orang-orang suka terburu-buru pada urusan yang telah mereka putuskan. Kalu kita teruskan kehendak mereka akan teruslah merugikan mereka (maksudnya soal talak).” (HR Ahmad dan Muslim)

Kesimpulan dari hadits tersebut di atas, talak dengan satu kali ucapan sebenarnya hanya berlaku satu sebagaimana terjadi di zaman Rasulullah saw.. Dan ucapan seorang suami kepada istrinya, ”Aku talak tiga kamu” adalah merupakan ucapan bid’ah yang tidak sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Karena hal tersebut banyak dilakukan maka Umar memutuskan bahwa ucapan talak tiga itu dinilai sebagai tiga kali talak.

Dalam kitab-kitab fiqih kita mengenal adanya dua jenis talak, yaitu talak raj’i dan talak ba’in. Talak ba’in ada dua, yaitu talak ba’in sugra (kecil) dan talak ba’in kubra (besar). Talak raj’i (kembali) adalah talak yang memungkinkan seorang suami rujuk kembali dengan istrinya tanpa adanya akad nikah. Ketika masih dalam talak raj’i dan masih dalam masa iddah seorang suami boleh langsung rujuk kepada istrinya tanpa melakukan akad nikah lagi. Ada yang mensyaratkan dengan ucapan seperti ”Aku kembali padamu” ada juga yang menyatakan sekadar mereka masuk kamar mereka sudah dapat dikatakan rujuk. Jika sudah habis masa iddah maka suami istri jika akan rujuk harus dengan akad nikah. Khulu’, yaitu perceraian yang diakibatkan tuntutan istri yang tidak mempunyai iddah. Jadi khulu’ tidak termasuk talak raj’i, tetapi talak ba’in. Talak raj’i mempunyai bilangan dua, yaitu dua kali cerai. Dalil talak ini adalah:
”...Talak (yang dapat dirujuk itu) dua kali, kemudian (kalau mau) rujuklah atau lepaskanlah dengan cara yang baik....” (al-Baqarah: 229)

Talak ba’in adalah talak yang memungkinkan pasangan suami istri melakukan rujuk dengan syarat-syarat tertentu. Talak ba’in sughra yaitu talak yang mensyaratkan rujuknya pasangan suami istri dengan akad nikah pada bilangan talak pertama dan kedua. Sedangkan talak ba’in kubra adalah talak yang mensyaratkan rujuknya pasangan tersebut melalui pernikahan wanita tersebut dengan pria lain selain mantan suaminya yang telah tiga kali menalaknya. Dalil talak ini adalah:
”Apabila ia menceraikan istrinya maka tidak halal baginya sebelum si wanita menikah dengan pria lain.” (al-Baqarah: 230)

Apabila seorang suami menceraikan istrinya dengan talak tiga maka perempuan itu tidak boleh dikawininya lagi sebelum si wanita itu kawin dengan laki-laki lain tanpa rekayasa. Rasulullah saw. bersabda kepada istri Rifa’ah:
”Sampai engkau merasakan ’madunya’ dan ia merasakan ’madumu’.” (HR Bukhari dan Muslim)

Demikan beratnya kondisi talak tiga sampai-sampai istrinya tidak bisa kembali kecuali mengawini pria lain tanpa adanya rekayasa. Artinya jika wanita tersebut cocok dengan pria baru tersebut maka pupuslah harapan suaminya yang dahulu. Dengan kata lain, talak tiga membuat pasangan tersebut kemungkinannya sangat kecil sekali untuk bersatu kembali. Oleh karena itu tidak boleh sepasang suami istri mempermainkan agama dengan cara kawin-cerai. Rasulullah saw. sudah mengingatkan:
”Allah mengutuk orang yang suka mencoba-coba pernikahan dan suka bercerai.” (Al Hadits)

Rasulullah saw. pernah marah sekali kepada orang yang menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus. Beliau saw. bersabda:
”Apakah ia akan main-main dengan Kitab Allah padahal aku masih ada di tengah-tengah kamu?” (HR Nasa’i)

Sungguh mengherankan jika ada seseorang yang sampai pada kondisi talak tiga dan sungguh mengherankan lagi jika mereka dapat kembali bersatu setelah talak tiga. Sebab, mahligai pernikahan adalah sebuah kenikmatan yang Allah berikan kepada pasangan suami istri. Jika terjadi perceraian berarti orang tersebut tidak mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kecuali cerai wajib. Padahal dengan mensyukuri kehidupan rumah tangga maka Allah akan menambah kenikmatan bagi rumah tangga tersebut.


Diberdayakan oleh Blogger.