Anak Lahir Cacat, Suami Memilih Minggat


Sungguh malang nasib wanita ini. Sepuluh tahun yang lalu ia dinikahkan dengan seorang pria pilihan orang tuanya. Pernikahan tersebut berjalan mulus. Resepsi pernikahan pun dilaksanakan secara mewah. Tiga tahun berikutnya wanita tersebut melahirkan seorang bayi laki-laki yang tidak normal secara mental. Wanita itu berusaha menerima kenyataan ini dengan sabar dan pasrah kepada Allah. Sedangkan suaminya sangat kecewa berat dengan kehadiran anaknya yang tidak normal itu. Ia tidak bisa menerima kenyataan itu dan menyarankan untuk membuangnya. Wanita tersebut beserta keluarganya sangat tersinggung dengan sikap suaminya itu.

Setelah mertua laki-lakinya wafat, mertua perempuannya terpengaruh oleh suaminya untuk memberikan anak mereka kepada siapa saja yang mau dengan imbalan untuk mengurusnya. Sang istri tetap keukeuh ingin merawat anak ini hingga dewasa, ”Anak ini adalah darah dagingku. Ini adalah amanah dari Allah dan aku tetap akan menunaikan amanah ini sampai mati.” Namun tetap saja suaminya, yang barangkali belum berpikir dewasa tidak menginginkan anak itu.

Akhirnya, perbedaan pandangan ini tidak bisa lagi dikompromikan. Rumah tangga menjadi tidak lagi harmonis. Suami ketika pulang kerja tidak mau menyentuh anaknya. Kadang-kadang ia hanya memandanginya dari jauh. Lama-kelamaan sang istri kesal dengan sikap suaminya. Ia bahkan menyalahkan sang suami, jangan-jangan kecacatan anak tersebut didapat dari sang suami yang dahulu gemar merokok dan minum minuman keras. Tetapi begitu melihat akibatnya ia tidak mau menerima. Keduanya pun bertengkar mulut. Berikutnya, sang suami bukannya tidak mau memandangi anaknya lagi tapi sudah jarang pulang. Alasannya nginep di rumah orang tuanya.

Selanjutnya sang suami benar-benar meninggalkan rumah itu tanpa menceraikan istrinya. Dengar-dengar ia juga dekat dengan wanita lain di kantornya. Meskipun tidak dicerai dan nafkah tetap jalan, suaminya tidak pernah menengok dirinya, apalagi anaknya. Hal ini diperparah dengan ibu mertua pun bersikap tidak bersahabat dan ikut mengompor-ngompori keadaan. Kondisi di rumah tangga ini, meskipun keseharian tanpa suara ribut-ribut karena memang sudah pisah rumah, bagaikan bara api yang bisa-bisa kelak akan membakar habis rumah tangga tersebut. Boleh dibilang, saat ini rumah tangga tersebut di ambang kehancuran, jika sang suami tidak mengubah sikapnya.

Bagaimana seharusnya wanita ini? Ia dalam kondisi yang tidak dapat memaksa suaminya. Bahkan sesekali ia merasa bahwa sikap yang diambil suaminya, yang kecewa anaknya terlahir tidak normal, adalah wajar. Siapa sih yang menginginkan anaknya lahir tidak normal. Tetapi yang ia harapkan adalah dukungan moral suaminya agar ia dapat menjalani hari-hari pengasuhannya dengan penuh keikhlasan. Wanita ini kemudian berpikir, apa sebaiknya bercerai saja dengan suaminya agar dirinya tidak terbebani dengan sikap suami dan ibu mertuanya. Serta mereka pun pasti merasa lega.

Tapi, apakah semudah itu pernikahan ini bubar? Bukankah mereka baru menjalani pernikahan tidak lebih dari dua tahun. Tentu saja ia memerlukan orang lain untuk melakukan pendekatan dan memberikan nasihat kepada suaminya. Tapi jika gagal, bagaimana ia harus bersikap. Ia sendiri sekarang hanya berkonsentrasi mendidik anak. Tapi sesekali jika ia ingat perilaku suami dan ibu mertuanya, hatinya kembali bergejolak ingin marah. Batinnya berkata, cerai atau tetap seperti ini saja? 

Reader Comments



Diberdayakan oleh Blogger.