Rumah Tangga Sudah Bahagia, Kenapa Masih Minta Cerai?


Terkesan sangat provokatif yah judulnya? Mana ada sudah bahagia kok mau ditinggalkan? Pasti ada apa-apanya. Mungkin secara umum kelurga itu bahagia, hanya ada suatu hal yang mengganjal. Awal-awalnya mungkin tidak mengganggu, tapi lama-lama hal yang mengganjal itu menjadi menyakitkan. Seperti apa sebenarnya masalah rumah tangga ini?

Seorang ibu mengadukan permasalahan rumah tangganya. Ia sudah hampir dua puluh tahun berkeluarga. Suaminya termasuk lelaki yang saleh. Tetangga sekitarnya memanggil suaminya dengan ”Pak Ustadz” karena ia sering menjadi imam di mushala dekat rumah dan kadang memberikan khutbah Jumat.

Ibu tersebut sangat mengagumi suaminya karena ia seorang pekerja keras, bertanggung jawab dan sangat besar perhatiannya terhadap keluarga. Penghasilannya lumayan. Selain untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, suaminya dapat menyisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung. Karena sayangnya terhadap suami, ibu tersebut berusaha untuk selalu patuh dan menjadi istri yang salihah.

Tentu kisah indah ini tidak mulus begitu saja. Ada satu hal yang mengganjal ibu tersebut berkenaan dengan kehidupan pribadinya. Sebagai wanita normal, di antara kebahagiaan rumah tangga, ia mengalami siksaan batin. Selama berumah tangga dua puluh tahun lamanya ia sama sekali belum pernah dijamah secara intim. Boleh dibilang ibu itu masih gadis. Suaminya hanya mencumbunya saja. Dengan kata lain, suaminya impoten, tidak mampu memuaskan hasrat seksualnya. Sering ia menimbang-nimbang, antara kebahagiaan kehidupan rumah tangganya tapi kehidupan seksualnya gagal, atau kehidupan seksualnya selalu terpuaskan tapi kehidupan sehari-hari diwarnai dengan pertengkaran.

Ibu ini sedang mempertimbangkan untuk meminta cerai kepada suaminya, kemudian mencari pria lain sebagai suami yang dapat memenuhi hasrat biologisnya. Kebimbangannya malah melahirkan pikiran, bagaimana jika ia nanti menikah dengan orang lain (tentunya setelah bercerai) tapi masih melayani mantan suaminya kelak, selain berhubungan badan. Sebab, suaminya yang sekarang, memang tidak dapat melakukan pekerjaan yang satu ini. Keinginannya menjadi wanita yang normal dan bahagia sedemikian besar. Apakah yang harus ia lakukan agar tetap menjadi seorang istri dari suaminya yang sekarang ini dengan kehidupan bahagianya, namun juga bisa mendapatkan kepuasan sebagaimana wanita lain yang mendapatkan kepuasan dari suaminya.

Suami Menganggur, Minta Cerai atau Kabur?


Sudah dua puluh tahun ia berkeluarga. Alhamdulillah Allah menganugerahi empat orang putra. Sebagai istri, ia berusaha tetap tegar menghadapi berbagai cobaan dan ujian, serta kesulitan hidup. Ia bekerja keras mencari nafkah. Semua itu ia lakukan sebagai tanggung jawabnya untuk membesarkan anak-anak. Ini terpaksa dilakukan karena suami tidak bisa mencari nafkah. Pada mulanya mereka memang sama-sama bekerja. Namun ketika ada rasionalisasi di kantor suaminya, dan ia termasuk yang dipecat kondisi langsung berubah. Sang suami setelah berada di rumah tidak berusaha mencari pekerjaan. Ia seperti patah semangat dan malas menjalani hidup. Akhirnya ia cuma di rumah, bermalas-malasan. Sang istri berusaha sabar menghadapi keadaan pahit seperti ini. Tapi lama-kelamaan habis kesabarannya.

Pada awalnya ia masih rela menanggung beban, berperan menghidupi keluarga. Ia berharap suaminya segera sadar dan mau mencari kerja dalam bentuk apa pun asal halal. Ketika suaminya tidak dapat diharapkan dan setelah berkali-kali dinasihati tidak mempan, ia akhirnya mengalah. Yang penting kehidupan keluarga, terutama anak-anak tetap berlangsung. Setiap ada rasa kesal dan jengkel disimpannya di dalam hati.

Puncak kejengkelan dan kemarahan terjadi setelah sang istri tahu ternyata anak-anaknya bukan anak-anak yang baik. Satu di antara mereka menjadi pecandu narkoba. Ia menjadi pengguna aktif obat-obatan terlarang, narkotika, dan morfin. Sangat disesalkan, semua anaknya tidak ada yang bisa menjadi kebanggaan keluarga. Sangat memprihatinkan melihat kondisi anak-anak tak terurus, berantakan, dan terpuruk nilai-nilai akhlak mereka. Rasanya sudah lelah dan putus asa. Langkah apa yang harus ditempuh ibu ini untuk menyelesaikan permasalahannya itu? Apakah perlu ia meninggalkan semuanya untuk memberi pelajaran dan tidak menampakkan diri di hadapan mereka untuk beberapa waktu?

Memang tak mudah menjalani kedua peran yang berbeda. Peran menjadi seorang yang mencari nafkah sekaligus mendidik anak. Sungguh jarang seorang wanita mampu menjalani kedua peran ini sekaligus dengan hasil yang baik. Biasanya memang ada salah satu yang dikorbankan. Kenyataan akhirnya menunjukkan bahwa setiap niat baik, jika tidak dibarengi dengan cara yang baik bisa menimbulkan kekacauan.

Kembali ke masalah ibu wanita karir ini. Manakah yang lebih mudah ia lakukan, mengubah suami agar mau bangkit kembali dan dirinya kembali ke rumah memperbaiki kondisi anak-anak, ataukah ia tinggalkan suaminya dengan membawa anak-anak keluar dari rumah itu meskipun sang anak sudah cukup umur?

Anak Lahir Cacat, Suami Memilih Minggat


Sungguh malang nasib wanita ini. Sepuluh tahun yang lalu ia dinikahkan dengan seorang pria pilihan orang tuanya. Pernikahan tersebut berjalan mulus. Resepsi pernikahan pun dilaksanakan secara mewah. Tiga tahun berikutnya wanita tersebut melahirkan seorang bayi laki-laki yang tidak normal secara mental. Wanita itu berusaha menerima kenyataan ini dengan sabar dan pasrah kepada Allah. Sedangkan suaminya sangat kecewa berat dengan kehadiran anaknya yang tidak normal itu. Ia tidak bisa menerima kenyataan itu dan menyarankan untuk membuangnya. Wanita tersebut beserta keluarganya sangat tersinggung dengan sikap suaminya itu.

Setelah mertua laki-lakinya wafat, mertua perempuannya terpengaruh oleh suaminya untuk memberikan anak mereka kepada siapa saja yang mau dengan imbalan untuk mengurusnya. Sang istri tetap keukeuh ingin merawat anak ini hingga dewasa, ”Anak ini adalah darah dagingku. Ini adalah amanah dari Allah dan aku tetap akan menunaikan amanah ini sampai mati.” Namun tetap saja suaminya, yang barangkali belum berpikir dewasa tidak menginginkan anak itu.

Akhirnya, perbedaan pandangan ini tidak bisa lagi dikompromikan. Rumah tangga menjadi tidak lagi harmonis. Suami ketika pulang kerja tidak mau menyentuh anaknya. Kadang-kadang ia hanya memandanginya dari jauh. Lama-kelamaan sang istri kesal dengan sikap suaminya. Ia bahkan menyalahkan sang suami, jangan-jangan kecacatan anak tersebut didapat dari sang suami yang dahulu gemar merokok dan minum minuman keras. Tetapi begitu melihat akibatnya ia tidak mau menerima. Keduanya pun bertengkar mulut. Berikutnya, sang suami bukannya tidak mau memandangi anaknya lagi tapi sudah jarang pulang. Alasannya nginep di rumah orang tuanya.

Selanjutnya sang suami benar-benar meninggalkan rumah itu tanpa menceraikan istrinya. Dengar-dengar ia juga dekat dengan wanita lain di kantornya. Meskipun tidak dicerai dan nafkah tetap jalan, suaminya tidak pernah menengok dirinya, apalagi anaknya. Hal ini diperparah dengan ibu mertua pun bersikap tidak bersahabat dan ikut mengompor-ngompori keadaan. Kondisi di rumah tangga ini, meskipun keseharian tanpa suara ribut-ribut karena memang sudah pisah rumah, bagaikan bara api yang bisa-bisa kelak akan membakar habis rumah tangga tersebut. Boleh dibilang, saat ini rumah tangga tersebut di ambang kehancuran, jika sang suami tidak mengubah sikapnya.

Bagaimana seharusnya wanita ini? Ia dalam kondisi yang tidak dapat memaksa suaminya. Bahkan sesekali ia merasa bahwa sikap yang diambil suaminya, yang kecewa anaknya terlahir tidak normal, adalah wajar. Siapa sih yang menginginkan anaknya lahir tidak normal. Tetapi yang ia harapkan adalah dukungan moral suaminya agar ia dapat menjalani hari-hari pengasuhannya dengan penuh keikhlasan. Wanita ini kemudian berpikir, apa sebaiknya bercerai saja dengan suaminya agar dirinya tidak terbebani dengan sikap suami dan ibu mertuanya. Serta mereka pun pasti merasa lega.

Tapi, apakah semudah itu pernikahan ini bubar? Bukankah mereka baru menjalani pernikahan tidak lebih dari dua tahun. Tentu saja ia memerlukan orang lain untuk melakukan pendekatan dan memberikan nasihat kepada suaminya. Tapi jika gagal, bagaimana ia harus bersikap. Ia sendiri sekarang hanya berkonsentrasi mendidik anak. Tapi sesekali jika ia ingat perilaku suami dan ibu mertuanya, hatinya kembali bergejolak ingin marah. Batinnya berkata, cerai atau tetap seperti ini saja? 

Definisi Talak atau Cerai dalam Islam


Cerai dalam istilah agama disebut dengan talak (thalaq). Kata tersebut kadang sudah menjadi bahasa Indonesia hanya saja kurang sepopuler istilah cerai. Karena ada dalam khazanah fiqih Islam, cerai atau talak termasuk syariat Allah. Artinya suatu perbuatan yang diperbolehkan untuk dilakukan dengan syarat-syarat tertentu.

Suatu keluarga yang ternyata menghadapi berbagai problem rumah tangga seperti, ketidaksesuaian, pertengkaran, pengkhianatan dan penyelewengan rumah tangga dan lain-lain maka perlu dilakukan langkah-langkah antisipasi. Jika problem tersebut berupa sesuatu yang sudah jelas seperti pindah agama atau tuduhan berzina, dan keputusannya sudah tetap, tanpa perlu berpikir panjang, cerai menjadi satu-satunya solusi.

Namun bagi persoalan lain yang bukan menyangkut hal-hal prinsip secara agama, sepasang suami istri yang menghadapi kemelut rumah tangga harus mengupayakan beberapa langkah berikut ini sebelum dilakukan proses perceraian. Untuk menyelesaikan problem secara baik dan lancar, langkah-langkah ini seyogianya dilakukan secara urut, tidak bisa ditinggalkan atau dilompati salah satunya. Seperti prosedur menikah, mulailah dulu dengan perkenalan, mengkhitbah (meminang), baru menikah. Memang bisa saja ketemu orang tuanya, belum kenal langsung dinikahkah. Tapi apakah selanjutnya bisa berjalan dengan baik, wallahu a’lam. Sedangkan proses yang baik seyogianya dilakukan dahulu perkenalan, saling mengetahui apa kekurangan dan kelebihannya, dilanjutkan dengan pendekatan kedua keluarga melalui proses khitbah dan jika harinya sudah ditentukan, pernikahan bisa dilangsungkan. Insya Allah pernikahan dan rumah tangganya akan dilalui dengan lancar, setidaknya dibandingkan mereka yang tidak melalui proses tersebut.

Proses Gugatan Cerai di Pengadilan


Bagi seseorang yang ingin mengajukan gugatan cerai persiapan dan persyaratannya adalah :

1. Mengumpulkan bukti-bukti perkawinan, seperti:

  • Buku nikah/Akta perkawinan;
  • Akta kelahiran anak-anak (jika punya anak);
  • Kartu Tanda Penduduk (KTP);
  • Kartu Keluarga (KK);
  • Bukti-bukti kepemilikan aset (rumah/mobil/buku tabungan).
  • Membuat gugatan cerai;

2. Mendaftarkan gugatan cerai di pengadilan berwenang;
3. Menunggu penerimaan surat panggilan sidang dari pengadilan;
4. Menghadiri persidangan;
5. Mempersiapkan saksi minimal dua orang.

Perlu diketahui bahwa untuk yang beragama Islam (nikah secara muslim) jika ingin bercerai maka gugatan cerainya diajukan di Pengadilan Agama, sementara bagi yang non-muslim jika ingin bercerai diajukannya di Pengadilan Negeri. Adapun urut-urutan sidang perceraian di Pengadilan Agama adalah :

  1. Sidang kelengkapan berkas-berkas, pembacaan gugatan dan usaha perdamaian;
    • Diikuti dengan acara mediasi ke-1;
    • Mediasi ke-2;
  2. Sidang hasil mediasi
  3. Sidang jawaban;
  4. Sidang replik;
  5. Sidang duplik;
  6. Sidang pembuktian dari penggugat;
  7. Sidang pembuktian dari tergugat;



Bagan Proses Persidangan Cerai



Diberdayakan oleh Blogger.