Apakah cerai adalah solusi?

Cerai sebagai solusi. Terasa sekali kalimat tersebut sangat provokatif. Setidaknya terkesan memberi anjuran agar sebaiknya bercerai saja. Bagi orang yang berpikiran simple, mungkin cerai menjadi sesuatu hal mudah. “Gitu aja kok repot,” begitu barangkali kata Gus Dur. Padahal baik di dalam kacamata agama maupun kondisi sosial masyarakat kita, perceraian dianggap sesuatu yang tabu. Sesuatu yang sebaiknya dihindari. Bahkan Allah murka terhadap orang yang cerai. “Perbuatan halal namun dibenci Allah adalah cerai,” sabda Nabi saw.. Siapa pun juga ketika mendapati saudara atau temannya dalam masalah keluarga dan berniat untuk cerai, segera ia memberikan saran, “Tunggu dulu deh. Jangan terburu nafsu. Pikir dulu masak-masak. Ingat masa depan anak-anak, lho.” Semua orang menyarankan agar perceraian jangan sampai terjadi.


Namun demikian, kenyataan di lapangan tidak semudah itu. Sebuah rumah tangga yang dirundung kemelut masalah perlu sebuah solusi. Siapa pun, tidak menginginkan perceraian. Sebab, biasanya –sekali lagi biasanya-, perceraian itu tidak mengenakkan. Cerai adalah lawan dari nikah. Kita dapati dalam sebuah pernikahan suasana yang meriah, riang gembira. Kedua insan tersebut diliputi rasa cinta kasih karena telah halal bagi mereka melakukan hubungan suami-istri. Bahkan kedua mempelai dinobatkan sebagai raja dan ratu sehari. Pengantin, keluarga, sanak famili, handai tolan bergembira pada hari pernikahan itu. Para tamu undangan memberikan selamat, turut menyatakan rasa kegembiraannya diiringi dengan doa agar keberkahan selalu tercurah dalam rumah tangga pengantin baru tersebut. Selain ucapan selamat, kado dan amplop pun diberikan kepada mempelai berdua.

Sedangkan perceraian sebaliknya. Tidak ada ucapan selamat, bahkan kalau bisa jangan diumumkan. Sudah, pisah saja. Kalau ada yang tanya baru dijawab sudah cerai. Jangankan mendapat amplop, uang pun harus keluar untuk biaya pengadilan agama. Belum lagi masalah anak. Anak-anak akan merasa tertekan karena tidak punya bapak atau ibu lagi. Mereka tidak bisa lagi bermain bersama, berlibur bersama seluruh keluarga, dan segala kemeriahannya. Anaklah yang paling bisa merasakan kesedihan perpisahan kedua orang tua mereka. Jika terjadi, anak-anak harus dipersiapkan terlebih dahulu agar mental mereka tidak terguncang.

Tentu ini adalah hal yang susah. Jangankan mempersiapkan mental anak, mental diri sendiri pun sering kali tidak siap. Masing-masing masih terguncang. Masalah lainnya adalah pembagian harta, rumah, dan sebagainya. Akhirnya, mereka menjalani hidup secara sendiri-sendiri.

Jelas sekali, bahwa perceraian tidak mengenakkan. Namun mengapa masih ada orang yang menempuh jalan cerai daripada mempertahankan rumah tangganya. Apakah mereka tidak mempedulikan nasib diri dan keluarga sesudahnya? Apakah mereka tidak mempedulikan nasib anak-anak kelak? Apa mereka tidak mempedulikan perasaan kedua orang tua masing-masing yang sudah pasti akan sedih? Tentu. Mereka pasti peduli dengan semua itu. Namun masalah yang mendera mereka lebih besar daripada itu (maka, kalau ada rumah tangga dengan masalah yang sepele langsung main cerai, itu dilaknat oleh Rasulullah saw. sebagai orang yang mencoba-coba dalam kawin cerai).

Masalah yang dialami oleh rumah tangga tersebut bisa jadi karena hadirnya orang ketiga, sementara secara prinsip salah satu tidak mau diduakan. Bisa pula karena superioritas istri yang mempunyai gaji lebih tinggi dari suami sehingga suami merasa tertekan. Ada pula karena tidak cocok lagi dengan pasangannya karena setelah menikah sifat-sifat tersebut baru keluar. Ada juga karena salah satu pindah agama dan masalah-masalah lain. Masing-masing punya prinsip. Ada yang prinsipnya memang prinsip, seperti masalah pindah agama, ada juga yang prinsipnya berdasarkan diri sendiri seperti tidak mau dimadu. Tentu yang paling baik adalah prinsip berdasarkan agama.

Begitulah, kehidupan rumah tangga tidak selalu mulus. Awal-awalnya selalu menyenangkan tetapi ketika badai menghembus, cerita baru dimulai. Seorang penulis sekaligus wartawan, Beverley Nichols, mengatakan, “Marriage – a book of which the first chapter is written in poetry and the remaining in prose. Pernikahan bagaikan sebuah buku yang lembar pertamanya berisi puisi dan lembar-lembar berikutnya berupa prosa.”

Islam, sebagai agama yang bersifat rahmatan lil alamin telah mengatur masalah cerai ini dengan sangat rinci. Bahkan kalau kita membuka buku-buku fiqih, pembahasan mengenai talak (cerai) jumlah halamannya hampir menyamai pembahasan masalah nikah. Dengan demikian berarti Islam membolehkan terjadi perceraian di antara suami istri jika berlangsungnya pernikahan menimbulkan mudharat yang lebih besar. Islam juga memperbaiki aturan-aturan talak yang terjadi pada zaman jahiliyah untuk memperbaiki harkat hidup, terutama bagi kaum wanita. Kita mengetahui bahwa pada zaman jahiliyah kondisi dan posisi wanita sangat lemah, juga tercermin dalam aturan mereka mengenai cerai.

Dengan adanya syariat cerai dalam hukum Islam maka seorang Muslim yang berumah tangga dapat menempuh jalan tersebut apabila jalan lain sudah tidak dapat ditempuh. Ketika kita berjalan kemudian menemui jalan buntu, ke sana mentok, ke sini mentok, maka jalan satu-satunya yang bisa ditempuh adalah membuka pintu darurat yang akan menyelamatkan semuanya dari kebuntuan. Tanpa membuka pintu darurat itu niscaya keduanya akan hancur. Perumpamaan yang sering dipakai adalah pintu darurat pada pesawat terbang yang hanya dibuka ketika pesawat akan jatuh. Jika pesawat terbang normal, untuk apa membuka pintu darurat. Malah jadi celaka semua. Seorang yang terkena tumor pada kakinya harus dipotong, jika tidak, tumor akan merembet ke seluruh tubuh. Jika tidak ada tumor, buat apa kaki diamputasi?

Oleh karena itu harus berhati-hati dalam memutuskan sebuah perceraian. Semua pertimbangan, terutama pertimbangan agama harus dilakukan. Jangan sampai emosi yang bermain sehingga menyesal kemudian. Juga jangan sampai alasan yang sepele, jurus cerai dimainkan. Antara suami dan istri juga salah satu atau keduanya jangan egois. Salah satu egois, hancurlah rumah tangga. Sebuah pepatah mengatakan, ”Untuk membangun sebuah rumah tangga yang sakinah diperlukan dua orang, untuk menghancurkan cukup satu orang.” Jadi bila ingin keluarga sakinah, keduanya harus mempunyai komitmen. Tidak bisa salah satu. Namun bila ingin merusak perkawinan, cukup satu orang, apakah suami atau istri yang melakukan, rusaklah rumah tangga itu. Dalam mempertahankan perkawinan atau memutuskan untuk bercerai, seyogianya merupakan keputusan bersama dan untuk kebaikan bersama.

Meskipun dikatakan bahwa persoalan selalu dibicarakan bersama antara suami dan istri, sesungguhnya suamilah yang harus bertanggung jawab. Sebagai kepala rumah tangga suami berkewajiban menjaga keutuhan keluarga dan ketetapan mereka selalu berada di jalan Allah.
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin bagi rumah tangga suaminya dan juga anak-anaknya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Allah sudah memerintahkan kaum suami untuk menjaga keluarganya agar selalu berada di jalan yang lurus, menghindari jalan menuju neraka. Allah berfirman:
”Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka....” (at-Tahrim: 6)

Jika ada istri yang akhlaknya kurang baik, harus menjadi kewajiban suami untuk memperbaiki atau menasihati. Nabi saw. pun mengingatkan agar nasihat diberikan dengan penuh kehati-hatian. Sabdanya:
“Nasihatilah para wanita (istri) itu dengan baik. Sesungguhnya wanita itu tercipta dari tulang rusuk yang bengkok. Bila engkau biarkan akan tetap bengkok, tapi jika engkau luruskan akan patah. Maka nasihatilah wanita itu dengan baik.” (HR Bukhari)

Jadi, suamilah yang berperan. Jika istrinya rusak, sebenarnya itu adalah tanggung jawabnya karena walinya sudah menyerahkan kepadanya. Sedangkan jika baik, suami ikut mendapatkan kebaikannya. Dan karena cerai menjadi hak suami, ia harus memutuskannya dengan penuh pertimbangan dan tanggung jawab. Sebab, kelak di akhirat ia akan dimintai tanggung jawab atas apa yang diperbuatnya itu.

Reader Comments



Diberdayakan oleh Blogger.