Cerai sebagai solusi. Terasa sekali kalimat tersebut sangat provokatif. Setidaknya terkesan
memberi anjuran agar sebaiknya bercerai saja. Bagi orang yang berpikiran simple,
mungkin cerai menjadi sesuatu hal mudah. “Gitu aja kok repot,” begitu
barangkali kata Gus Dur. Padahal baik di dalam kacamata agama maupun kondisi
sosial masyarakat kita, perceraian dianggap sesuatu yang tabu. Sesuatu yang
sebaiknya dihindari. Bahkan Allah murka terhadap orang yang cerai. “Perbuatan
halal namun dibenci Allah adalah cerai,” sabda Nabi saw.. Siapa pun juga
ketika mendapati saudara atau temannya dalam masalah keluarga dan berniat untuk
cerai, segera ia memberikan saran, “Tunggu dulu deh. Jangan terburu nafsu.
Pikir dulu masak-masak. Ingat masa depan anak-anak, lho.”
Semua orang menyarankan agar perceraian jangan sampai terjadi.
Namun demikian, kenyataan di
lapangan tidak semudah itu. Sebuah rumah tangga yang dirundung kemelut masalah
perlu sebuah solusi. Siapa pun, tidak menginginkan perceraian. Sebab, biasanya
–sekali lagi biasanya-, perceraian itu tidak mengenakkan. Cerai adalah lawan
dari nikah. Kita dapati dalam sebuah pernikahan suasana yang meriah, riang
gembira. Kedua insan tersebut diliputi rasa cinta kasih karena telah halal bagi
mereka melakukan hubungan suami-istri. Bahkan kedua mempelai dinobatkan sebagai
raja dan ratu sehari. Pengantin, keluarga, sanak famili, handai tolan
bergembira pada hari pernikahan itu. Para tamu undangan memberikan selamat, turut menyatakan rasa kegembiraannya diiringi
dengan doa agar keberkahan selalu tercurah dalam rumah tangga pengantin baru
tersebut. Selain ucapan selamat, kado dan amplop pun diberikan kepada mempelai
berdua.
Sedangkan perceraian
sebaliknya. Tidak ada ucapan selamat, bahkan kalau bisa jangan diumumkan.
Sudah, pisah saja. Kalau ada yang tanya baru dijawab sudah cerai. Jangankan mendapat
amplop, uang pun harus keluar untuk biaya pengadilan agama. Belum lagi masalah
anak. Anak-anak akan merasa tertekan karena tidak punya bapak atau ibu lagi.
Mereka tidak bisa lagi bermain bersama, berlibur bersama seluruh keluarga, dan
segala kemeriahannya. Anaklah yang paling bisa merasakan kesedihan perpisahan kedua
orang tua mereka. Jika terjadi, anak-anak harus dipersiapkan terlebih dahulu agar
mental mereka tidak terguncang.
Tentu ini adalah hal yang
susah. Jangankan mempersiapkan mental anak, mental diri sendiri pun sering kali
tidak siap. Masing-masing masih terguncang. Masalah lainnya adalah pembagian
harta, rumah, dan sebagainya. Akhirnya, mereka menjalani hidup secara
sendiri-sendiri.
Jelas sekali, bahwa perceraian
tidak mengenakkan. Namun mengapa masih ada orang
yang menempuh jalan cerai daripada mempertahankan rumah tangganya. Apakah
mereka tidak mempedulikan nasib diri dan keluarga sesudahnya? Apakah mereka
tidak mempedulikan nasib anak-anak kelak? Apa mereka tidak mempedulikan
perasaan kedua orang tua masing-masing yang sudah pasti akan sedih? Tentu.
Mereka pasti peduli dengan semua itu. Namun masalah yang mendera mereka lebih
besar daripada itu (maka, kalau ada rumah tangga dengan masalah yang sepele
langsung main cerai, itu dilaknat oleh Rasulullah saw. sebagai orang yang
mencoba-coba dalam kawin cerai).
Masalah yang dialami oleh rumah
tangga tersebut bisa jadi karena hadirnya orang ketiga, sementara secara
prinsip salah satu tidak mau diduakan. Bisa pula karena superioritas istri yang
mempunyai gaji lebih tinggi dari suami sehingga suami merasa tertekan. Ada pula
karena tidak cocok lagi dengan pasangannya karena setelah menikah sifat-sifat
tersebut baru keluar. Ada juga karena salah satu pindah agama dan
masalah-masalah lain. Masing-masing punya prinsip. Ada yang prinsipnya memang
prinsip, seperti masalah pindah agama, ada juga yang prinsipnya berdasarkan
diri sendiri seperti tidak mau dimadu. Tentu yang paling baik
adalah prinsip berdasarkan agama.
Begitulah, kehidupan rumah tangga tidak selalu
mulus. Awal-awalnya selalu menyenangkan tetapi ketika badai menghembus, cerita
baru dimulai. Seorang penulis sekaligus wartawan, Beverley Nichols, mengatakan, “Marriage
– a book of which the first chapter is written in poetry and the remaining in
prose. Pernikahan bagaikan sebuah buku yang lembar pertamanya berisi puisi
dan lembar-lembar berikutnya berupa prosa.”
Islam, sebagai agama yang bersifat rahmatan lil
alamin telah mengatur masalah cerai ini dengan sangat rinci. Bahkan kalau kita membuka buku-buku fiqih,
pembahasan mengenai talak (cerai) jumlah halamannya hampir menyamai pembahasan
masalah nikah. Dengan demikian berarti Islam membolehkan terjadi perceraian di
antara suami istri jika berlangsungnya pernikahan menimbulkan mudharat yang
lebih besar. Islam juga memperbaiki aturan-aturan talak yang terjadi pada zaman
jahiliyah untuk memperbaiki harkat hidup, terutama bagi kaum wanita. Kita mengetahui
bahwa pada zaman jahiliyah kondisi dan posisi wanita sangat lemah, juga
tercermin dalam aturan mereka mengenai cerai.
Dengan adanya syariat cerai
dalam hukum Islam maka seorang Muslim yang berumah tangga dapat menempuh jalan
tersebut apabila jalan lain sudah tidak dapat ditempuh. Ketika kita berjalan
kemudian menemui jalan buntu, ke sana mentok, ke sini mentok, maka jalan
satu-satunya yang bisa ditempuh adalah membuka pintu darurat yang akan
menyelamatkan semuanya dari kebuntuan. Tanpa membuka pintu darurat itu niscaya
keduanya akan hancur. Perumpamaan yang sering dipakai adalah pintu darurat pada
pesawat terbang yang hanya dibuka ketika pesawat akan jatuh. Jika pesawat
terbang normal, untuk apa membuka pintu darurat. Malah jadi celaka semua. Seorang
yang terkena tumor pada kakinya harus dipotong, jika tidak, tumor akan merembet
ke seluruh tubuh. Jika tidak ada tumor, buat apa kaki diamputasi?
Oleh karena itu harus berhati-hati
dalam memutuskan sebuah perceraian. Semua pertimbangan, terutama pertimbangan
agama harus dilakukan. Jangan sampai emosi yang bermain sehingga menyesal
kemudian. Juga jangan sampai alasan yang sepele, jurus cerai dimainkan. Antara
suami dan istri juga salah satu atau keduanya jangan egois. Salah satu egois,
hancurlah rumah tangga. Sebuah pepatah mengatakan, ”Untuk membangun sebuah
rumah tangga yang sakinah diperlukan dua orang, untuk menghancurkan cukup satu
orang.” Jadi bila ingin keluarga sakinah, keduanya harus mempunyai komitmen.
Tidak bisa salah satu. Namun bila ingin merusak perkawinan, cukup satu orang,
apakah suami atau istri yang melakukan, rusaklah rumah tangga itu. Dalam
mempertahankan perkawinan atau memutuskan untuk bercerai, seyogianya merupakan
keputusan bersama dan untuk kebaikan bersama.
Meskipun dikatakan bahwa
persoalan selalu dibicarakan bersama antara suami dan istri, sesungguhnya
suamilah yang harus bertanggung jawab. Sebagai kepala rumah tangga suami
berkewajiban menjaga keutuhan keluarga dan ketetapan mereka selalu berada di
jalan Allah.
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan
dimintai pertanggungjawabannya. Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya.
Seorang istri adalah pemimpin bagi rumah tangga suaminya dan juga
anak-anaknya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Allah sudah memerintahkan kaum
suami untuk menjaga keluarganya agar selalu berada di jalan yang lurus,
menghindari jalan menuju neraka. Allah berfirman:
”Wahai orang-orang yang
beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka....” (at-Tahrim:
6)
Jika ada istri yang akhlaknya kurang
baik, harus menjadi kewajiban suami untuk memperbaiki atau menasihati. Nabi saw.
pun mengingatkan agar nasihat diberikan dengan penuh kehati-hatian. Sabdanya:
“Nasihatilah para wanita (istri) itu dengan baik.
Sesungguhnya wanita itu tercipta dari tulang rusuk yang bengkok. Bila engkau
biarkan akan tetap bengkok, tapi jika engkau luruskan akan patah. Maka
nasihatilah wanita itu dengan baik.” (HR Bukhari)
Jadi, suamilah yang berperan.
Jika istrinya rusak, sebenarnya itu adalah tanggung jawabnya karena walinya
sudah menyerahkan kepadanya. Sedangkan jika baik, suami ikut mendapatkan
kebaikannya. Dan karena cerai menjadi hak suami, ia harus memutuskannya dengan
penuh pertimbangan dan tanggung jawab. Sebab, kelak di akhirat ia akan dimintai
tanggung jawab atas apa yang diperbuatnya itu.
Posting Komentar