Musyawarah adalah solusi sebelum bercerai
Kedua
pasangan harus mengadakan pendekatan-pendekatan dengan jalan musyawarah.
Seberat apa pun masalahnya, kedua belah pihak harus bertemu dan berdiskusi.
Jangan sampai permasalahan dibawa oleh orang lain dan keduanya tidak mau
bertemu sehingga langsung mengambil keputusan. Musyawarah ini merupakan salah
satu tuntunan Allah kepada kaum Muslimin dalam menyelesaikan segala urusan
termasuk urusan rumah tangga. Allah berfirman:
“…Dan
bermusyarawarahlah dengan mereka dalam urusan itu….” (Ali Imran: 159)
Ketika suami mendapati ganjalan atas
perbuatan istrinya, misalkan sang istri menjalin hubungan dengan pria lain atau
ia kurang bisa menjaga diri sehingga membuat malu pihak keluarga, atau berutang
tanpa sepengetahuannya maka sang istri harus dipanggil untuk dimintai
keterangan. Dalam proses ini timbullah musyawarah sekaligus proses check and recheck. Seorang
suami yang mendapatkan kabar miring terhadap istrinya tidak begitu saja
langsung ‘mengadili’ sungguh pun begitu itu, ia percaya 100%. Allah sudah
mewanti-wanti setiap kabar yang dibawa seseorang, terutama yang disampaikan
oleh orang fasik harus dikonfirmasi terlebih dahulu. Firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman,
jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu itu.” (al-Hujurat: 6)
Sang
suami menanyakan kabar yang diterimanya dan memberikan kesempatan kepada istri
untuk memberikan penjelasan, apakah kabar yang diterimanya benar atau cuma sekadar
gosip. Kalaupun benar, suami pun harus memberikan kesempatan kepada istri untuk
memberikan alasan mengapa hal itu ia lakukan. Apakah karena terpaksa, khilaf,
atau sengaja. Hal tersebut agar membuat sang suami berintrospeksi diri sehingga
jika ia memperbaiki kelakuannya yang menyebabkan istrinya demikian, persoalan
seharusnya selesai. Namun jika memang istrinya khilaf atau justru sengaja maka
kewajiban suamilah untuk menasihati. Seperti tuntunan Al-Qur’an :
“…..Wanita-wanita
yang kamu khawatiri nusyuz-nya
(melakukan pelanggaran) maka nasihatilah mereka…..” (an-Nisaa’: 34)
Proses
ini tentu terjadi dalam forum musyawarah keduanya. Dan untuk peristiwa
sepenting dan segenting ini tidak selayaknya musyawarah atau nasihat ini
dilakukan melalui telepon, surat
apalagi pesan singkat (sms). Mahligai rumah tangga yang dikhawatirkan bisa
runtuh harus ditangani dengan serius. Seorang suami seberapa pun sibuknya harus
menyempatkan diri menemui istrinya untuk memusyawarahkan hal itu. Terkecuali
jika berada di luar negeri atau luar kota
yang tidak mudah untuk segera pulang. Musyawarah tersebut ‘untuk sementara’
bisa melalui telepon atau surat
terlebih dahulu namun segera setelah situasi memungkinkan musyarawah harus
dilakukan. Minimal, jika memang istri melakukan hal-hal yang menyimpang dari agama sudah dihentikan dulu.
Sedangkan
jika istri mendapati suami yang melakukan nusyuz (pelanggaran) dan cuek
(acuh tak acuh) terhadap dirinya, ia harus berusaha menghadirkan suaminya untuk
bermusyawarah. Ia harus menanyakan kelakuan suaminya, apakah benar dan mengapa
dirinya berbuat demikian. Dalam Al-Qur’an juga disebutkan jika terjadi hal yang
seperti ini. Allah berfirman:
”Dan jika seorang wanita khawatir
akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka
tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya , dan
perdamaian itu lebih baik walaupun
manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara
baik dan memelihara dirimu, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.” (an-Nisaa’: 128)
Posting Komentar