Wahai para istri, pilih Keluarga atau Karir?


Keluarga dan Karir. Sebuah pilihan yang kadang tidak bisa kedua-duanya diambil. Sering kita mendapati di lingkungan perkotaan seorang istri menjadi ibu rumah tangga dan bekerja di kantor. Mereka mengambil sedikit dari masing-masing peran tersebut. Namun ada juga yang ekstrim. Seorang istri harus memilih salah satunya. Jika tidak, maka tidak kedua-duanya. Itulah yang akhirnya dialami oleh Susana. Selama ini ia membangun karir untuk menjadi wanita yang berhasil.

Masalah yang dialami oleh Susana pada awalnya adalah masalah komunikasi. Apa yang diinginkan oleh sang suami sebagai petinggi sebuah BUMN tidak tersampaikan dengan baik kepada istrinya. Sang suami mungkin mengira istrinya seharusnya mengerti sendiri bahwa pekerjaan suaminya menuntut sang istri aktif di kantor suaminya sebagai Dharma Wanita. Demikian pula dengan Susana. Ia seharusnya bisa mengomunikasikan bahwa dirinya ingin mengekspresikan diri dan keahlian yang selama ini ditekuninya di pekerjaannya. Suaminya diharapkan mengerti bahwa dirinya sudah sekolah tinggi-tinggi, sayang jika tidak dimanfaatkan. Bagaimana kata orang tua yang sudah menyekolahkan dengan susah payah kalau akhirnya harus berada di rumah. Keinginan Susana seperti ini tidak ditangkap suaminya. Keduanya mengandalkan masing-masing ”mengerti dengan sendirinya.”

Namun barangkali komunikasi sudah dilakukan. Maka musyawarah harus dilaksanakan. Jika ingin salah satu maka yang lain harus dikorbankan. Susana sebetulnya sudah bisa memilih hal itu dengan memikirkan bagaimana nanti ke depan. Ia juga harus memikirkan segala risiko, tidak hanya masalah finansial bahwa setelah cerai ia toh masih bisa hidup dengan gajinya. Misalnya tentang anak-anak dan nama baiknya di kantor, keluarga, maupun masyarakat. Maka ia pun bisa berpikir, jika kondisi sudah mendesak dan hanya ada satu pilihan, ia bisa dengan mudah memilih karena sudah dipikirkan masak-masak. Dan bagi wanita normal, keluarga menjadi pilihan dibandingkan karir. Sebab, seseorang bekerja pada dasarnya untuk keluarga, bukan keluarga untuk bekerja. Sudah sewajarnya ia meninggalkan karirnya untuk menjadi ibu rumah tangga mendampingi suami.

Namun barangkali perlu terus diupayakan agar kompromi bisa terjadi. Misalnya dengan bermusyawarah, apa sih yang diinginkan suami. Bisa tidak, asal dibutuhkan sang istri siap. Yang penting ia tidak perlu resign dari kantornya. Jika kompromi ini bisa dicapai, tentu ini adalah solusi yang paling baik.

Reader Comments



Diberdayakan oleh Blogger.