Suami Kasar, ada solusinya


Soal nasib buruk yang menimpa Lastri, kita sebetulnya dapat memutuskan sendiri apakah mau terus apakah mau bertahan. Memang kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) cukup banyak kita temukan di masyarakat. Bahkan, sekelompok LSM yang memperjuangkan hak-hak wanita berusaha untuk ’menggolkan’ Undang-Undang Anti KDRT. Apalagi di tengah sulitnya kondisi perekonomian di negeri ini. Cari kerja susah, sudah kerja gajinya tidak cukup. Suasana di luar rumah yang gampang menyulut emosi sering kali dibawa suami ke rumahnya. Sehingga ketika istri salah sedikit saja, piring melayang. Oleh karena itu, adanya sikap suami yang demikian ada banyak pihak yang berkontribusi, tidak hanya menyalahkan sifat dasar yang dibawanya sejak kecil.

Katakanlah, kondisi suami saat ini sudah seperti itu. Gampang marah, gampang main tangan, gampang melakukan kekerasan fisik, dan juga gampang melakukan tekanan psikis. Masih untung, dalam kasus Lastri ini, suaminya tidak ’nyeleweng.’ Pada dasarnya suaminya setia pada istrinya, hanya saja Lastri sering tidak tahan dengan tindakan suaminya yang sangat kasar itu.

Karena dalam kasus ini, Lastri yang tergolong ”waras” maka ialah yang harus berinisiatif untuk memperbaiki keadaan atau memberikan solusi. Menyerahkan persoalan dan menyalahkan suami sebagai kepala rumah tangga serta mengharapkan perbaikan darinya sangat sulit, meskipun bukannya tidak mungkin. Lastri harus mulai dari diri sendiri. Tentu bukannya kemudian ikhlas dijadikan sasaran pukulan. Tapi ia harus berpikir keras bagaimana menghadapi persoalan pelik ini.

Yang pertama, Lastri harus kuat baik secara fisik maupun mental. Jangan sampai kondisi buruk yang menimpa rumah tangganya membuat ia stres, tidak kuat, bahkan mencoba untuk bunuh diri.  Sebagai seorang Muslim, putus asa tidak ada rumusnya. Ia harus ingat ayat Allah yang berbunyi, “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.  Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (Yusuf: 87)

Setelah dirinya mampu mengendalikan diri, sasaran pertama adalah membuka pintu diskusi dengan suaminya. Ini hanyalah persoalan teknis, ketika suami akan diajak bicara serius, usahakan agar hatinya disenangkan dulu. Misalnya dengan berdandan yang rapi, menyiapkan makanan, membersihkan ruangan, memberikan bebauan yang wangi pada ruangan, pakaian, dan sebagainya. Kalau perlu dipijit dan diservis agar dirinya merasa rileks. Ketika suasananya sudah mantap, silakan suami diajak bicara soal sikap masing-masing. Lastri akan berusaha memberikan sikap yang terbaik, yaitu melayani dan berbakti pada suaminya. Sementara itu, tentunya dengan cukup hati-hati, Lastri meminta timbal balik dari suaminya agar dirinya pun dihargai sebagai seorang istri. Ujung-ujungnya, meskipun tidak mengeluarkan kata-kata, “Jangan kau pukul aku,” tapi maksudnya akan sampai bahwa istri pun harus dihormati. Tidak boleh disakiti baik fisik maupun perasaannya.

Keduanya, Lastri dan suaminya seperti kembali diikat dengan tali kesepakatan dalam pernikahan. Tumbuhkan ketulusan berdua dalam menjalani kehidupan rumah tangga dan diajak untuk menghadapi persoalan secara bersama-sama. Mungkin suami yang merasa berat mencari kerja di luar rumah merasa istrinya tidak ikut berempati sehingga sifat kasar suaminya timbul. Kesabaran di antara keduanya harus dipupuk. Lastri akan berusaha sabar jika sikap kasar suaminya timbul. Dalam pikirannya, sang suami pasti sedang ada masalah di tempat kerja. Sang suami pun semestinya juga bersabar. Ia harus mampu menahan diri, jika ada sesuatu kelakuan Lastri yang menjengkelkannya. Dirinya harus menyadari bahwa berada di rumah seharian mungkin terasa bete (membosankan).

Lastri, yang dalam kasus ini masih bisa berpikir dengan jernih harus lebih menyelami perasaan suaminya. Ia harus berpikir keras mengapa sang suami bertindak seperti itu. Tentu bukannya untuk menerima keadaan, tapi untuk mengobati “sakitnya” sang suami. Dalam arti, bisakah tabiat suami yang kasar itu diubah dan diluruskan? Itu akan menjadi tantangan tersendiri baginya. Lastrilah yang sebaiknya harus melakukannya, sedapat mungkin. Jangan meminta pertolongan orang ketiga dahulu jika ia masih bisa melakukannya. Sebab, pendekatan dari seorang istri niscaya lebih efektif karena ialah yang mengerti seluk-beluk suaminya. Yang menjadi fokusnya adalah, apakah sikap kasar suaminya merupakan sikap yang muncul saat dewasa ketika ada peristiwa yang memengaruhi dirinya atau sudah ada sejak kecil. Yang berat memang apabila sikap tersebut dibawanya sejak kecil, entah karena didikan orang tua, karena stres ada suatu peristiwa yang membuat dirinya seperti itu, atau apa saja tentang masa lalunya. Namun demikian keduanya bukannya tidak mungkin diubah.

Seperti yang diuraikan dalam buku Rumahku Surgaku, tindakan kasar yang ada pada suami adalah masalah yang melekat pada dirinya, bukan pada istri. Jadi, istri harus melihat bahwa sebenarnya suami sedang dirundung masalah, termasuk tindakan kasarnya itu. Seorang suami yang kasar, marah-marah, sampai mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas sesungguhnya sedang dalam masalah. Istrinyalah yang pertama kali harus membantunya menyelesaikan masalah itu. Maka, ia wajib mencari tahu penyebabnya.

Setelah penyebab diketahui, kita bisa mengetahui bagaimana cara “mengobati” atau melakukan terapinya. Jangan katakan bahwa suami sedang “sakit.” Tapi istri harus merasa bahwa ketidakwajaran sikap suami itu sebagai suatu penyakit. Dengan demikian ia tidak akan stres atau merasa dizalimi oleh suaminya, apalagi mendendam dan menuntut balas.

Masalah penyebab kekasaran suami dan bagaimana langkah yang tepat mengatasinya bisa dibicarakan bersama-sama jika suami bisa diajak dialog. Jika tidak bisa “curhat” kepada orang lain pun dapat dilakukan tanpa harus membuka aib rumah tangganya. Insya Allah dengan pendekatan yang bijak “penyakit” kasar suaminya itu akan sembuh dan selanjutnya kasih sayanglah yang akan diberikan. Perlu juga disampaikan ajaran Islam atau hadits Nabi saw. mengenai bagaimana suami bersikap kepada keluarga, terutama kepada istrinya. Misalnya hadits Nabi saw. sebagai berikut:
"Sebaik-baik orang yang beriman adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan orang yang paling baik di antara kamu adalah orang yang sangat baik pada istrinya." (Al Hadits)

Dalam usaha “menyembuhkan” masalah suami itu tidak lupa harus didukung dengan doa dan munajat kepada Allah agar hati suaminya dibukakan untuk kebaikan, terutama pada istri dan keluarganya. Mohon kepada Allah supaya suaminya dijadikan orang yang saleh dan bertanggung jawab terhadap rumah tangganya. Diimbangi pula dengan mendekatkan diri kepada Allah, termasuk mengajak suami untuk bersama-sama beribadah. Shalat, puasa, dzikir, dan menghadiri pengajian merupakan langkah yang sebaiknya ditempuh. Insya Allah akan memberikan kelancaran dan jalan keluar yang terbaik.

Kebiasaan yang baik yang selama ini dilakukan juga harus dipertahankan dan diperlihatkan kepada suami bahwa dirinya adalah orang yang baik dan tidak patut untuk dikasari. Ketenangan dan kebaikan kawan-kawan seiman dalam majelis taklim akan membantunya menyelesaikan masalah rumah tangganya. Kalau semuanya itu dilakukan dengan tulus ikhlas maka usaha dan doanya akan terkabul. Usahanya terus dilakukan dan dikuatkan dengan dzikir, di antaranya “Hasbunallah wa ni’mal wakiil ni’mal maula wani’man nashiir.” Kemudian ujung surat at-Taubah ayat 129, “Hasbiallahu laa ilaaha illa huwa ‘alaihi tawakkaltu wahuwa rabbul arsyil azhiim.”

Reader Comments



Diberdayakan oleh Blogger.