Suami Kasar, apakah yang harus istri lakukan? Mengugat Cerai?
Romantika rumah tangga bermacam-macam adanya. Ada rumah
tangga yang suaminya baik, istrinya salihah. Ada yang suaminya saleh, tapi
istrinya berakhlak buruk. Ada yang suaminya jahat, istrinya baik. Dan ada pula
yang kedua-duanya jahat. Semua jenis tersebut hampir-hampir dapat kita temui
dalam kehidupan rumah tangga di masyarakat.
Namun kali ini ada istri yang bernasib kurang baik.
Suaminya kasar dan senang main pukul. Entah sudah berapa kali ia ditampar dan
digebuki. Seperti diungkapkan kepada Ustadz Miftah, pernah juga dirinya disiram
sayur karena di dalam sayur itu ada kecoa. Ia berusaha untuk sabar dan menerima
kenyataan ini. Pasalnya juga istri ini sudah tidak cocok dengan keluarganya sendiri
sehingga apabila ia pisah dengan suaminya tidak ada tempat lagi untuk bernaung.
Ditambah lagi ia tidak mempunyai saudara dan selama ini tidak bekerja mencari
nafkah. Di samping ia tidak mempunyai keahlian apa-apa, suaminya juga melarang
dirinya untuk bekerja di luar rumah.
Memang Lastri, sebut saja nama wanita ini, hidup bersama
suami yang lingkungannya sangat dominan kelaki-lakiannya. Ucapan suami sama
sekali tidak boleh dibantah sungguhpun salah. Seorang istri harus nrimo, tidak boleh menentang. Menjawab
perkataan suami yang sedang marah saja merupakan pantangan apalagi melawan.
Bisa-bisa terjadi “perang dunia ketiga” dan pasti berakhir dengan buruk.
Setidaknya Lastri pernah mencoba walau dengan “taraf” yang lebih ringan.
Teman yang pernah ”dicurhati” dirinya malah justru
menyalahkan Lastri. “Salah sendiri, orang tukang main pukul kok diajak kawin.”
Masalahnya adalah, ketika pacaran dan perkawinan tahun-tahun pertama sikap
kasarnya itu tidak kelihatan. Bahkan yang terlihat di mata Lastri, dari
kekasaran sifatnya itu adalah sifat melindungi dirinya. Ia merasa aman dari
godaan pria lain dengan adanya laki-laki yang seperti itu di sisinya. Namun
celakanya, ia sendirilah yang tidak aman dari laki-laki itu karena sering kali
dijadikan “sansak.” Terlebih lagi jika ada masalah yang membuatnya marah di
tempat kerjanya di bawa pulang ke rumah, di rumah ada sesuatu yang membuat sang
suami tambah marah. Sudah demikian, mulailah pukul-memukul itu.
Untuk menghilangkan rasa stresnya itu Lastri berusaha
mengisi waktu dengan merawat rumah, membimbing anak, dan aktif di majelis
taklim. Namun demikian, akibat kelakuan kasar suami itu ia sudah dalam titik
hampir berputus asa. Ia merasa sebagai manusia yang tidak berarti dan tidak
berdaya apa-apa. Ia merasa tidak berharga. Ia berusaha untuk melayani suaminya
sebaik mungkin secara lahiriah tapi secara batiniah ia sangat membencinya.
Dengan kondisi demikian rasanya ia ingin mati saja. Meneruskan rumah tangga ia
merasa tersiksa. Mau minta cerai, ia tidak tahu harus ke mana. Lagi pula,
secara ekonomi nantinya tidak ada yang menanggung dan ia tidak pandai mencari nafkah.
Lastri merasa bagaikan berada di penjara meskipun tidak di sel.
Posting Komentar