Cerai gara-gara panggilan profesi


Ibu Susana, dalam usia 35 tahun, masih energik. Profesinya di bidang pemasaran, kemampuannya melakukan lobby, membuatnya cemerlang di tengah para profesional pemasaran. Anak sudah tiga, tak mengurangi geraknya dalam bidang itu. Sesekali ia bekerja paruh waktu di perusahaan asing. Beberapa waktu lamanya ia sudah menekuni sebuah usaha baru yang ia bangun bersama rekan-rekannya. Suatu ketika ia tidak tampak lagi dalam aktivitas dunia pemasaran.

Kabar terakhir, ia tengah menghadapi keberatan suami, Rajiman. Suaminya, petinggi sebuah perusahaan BUMN, merasa sudah mencukupi apa yang menjadi kewajibannya sebagai suami. Entah bagaimana, akhir-akhir ini sang suami merasa keberatan istrinya terlalu aktif di luar rumah. Sejumlah acara Dharma Wanita di kantornya, Rajiman tak ditemani sang istri. Sang istri beralasan, ia perlu beraktivitas demi menyalurkan ilmu dan ketrampilannya. Ia menemukan kepuasan, setiap kali mencetak sukses di dunia pemasaran, sesuatu yang sangat ia sukai sejak kuliah.

Suasana rumah tangga Rajiman-Susana, lambat laun mulai menegang. Sempat cooling down, Susana banyak di kampung halaman suaminya. Menemani anak-anaknya yang memilih bersekolah di kota kelahiran suaminya yang memang tak jauh dari tempat tinggalnya. Tapi itu tak lama. Susana aktif kembali ke tengah-tengah dunia pamasaran. Kali ini, ia lebih proaktif. Alasannya, ia harus menyiapkan segala kemungkinan buruk jika suaminya menceraikannya.

Rupanya, Susana sangat berat meninggalkan profesinya. Janjinya untuk berbagi waktu sebaik-baiknya untuk anak dan suami, tidak membuat suaminya rela sang istri terlalu aktif di tengah dunia yang banyak dilibati kaum pria itu. Secara fisik, sejak Susana memutuskan kembali sepenuhnya dalam profesinya, Rajiman tak lagi serumah selayaknya suami-istri. Rajiman memang bukan orang yang banyak bersuara memberikan nasihat. Ia cuma berpikir, kalau tidak bisa dinasihati, tinggal saja. Sementara ini ia masih memilih pisah rumah dulu, tanpa menceraikannya.

Kendati keduanya sedang tidak harmonis, Susana masih bisa bertemu dengan anak-anak secara rutin di sebuah rumah yang tidak ditempati suaminya. Rumah peristirahatan itu menjadi tempat pertemuan Susana dengan anak-anaknya. Kondisi seperti ini, jelas bukan potret “keluarga” sewajarnya. Tarikan untuk aktif di dunia kerja, datang dari Susana yang ingin memanfaatkan kemampuannya, di saat suaminya sanggup mencukupi kebutuhan keluarga. Rajiman berat memutuskan cerai, meskipun sebenarnya ia juga paham, sang istri terkesan membantah dirinya sebagai kepala keluarga.

Saat ini keduanya mempunyai posisi tawar yang sama kuat, dalam arti, posisi dan gaji Susana sudah menyamai Rajiman. Kalau soal ekonomi, keduanya tidak ada masalah. Namun beda tipe kedua orang ini makin lama makin jelas. Rajiman yang menginginkan istrinya menjadi seorang ibu rumah tangga yang menjaga dan mengasuh anaknya di rumah, berhadapan dengan Susana yang merasa bahwa perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan pria. Ia merasa berhak untuk mengekspresikan dirinya di luar rumah, hitung-hitung memanfaatkan potensi yang selama ini digemblengnya di bangku kuliah dan di masyarakat. Akhirnya pilihan berujung pada karir atau keluarga. Akankah Susana rela melepas karirnya untuk kembali ke rumah menjadi orang seperti yang diinginkan suaminya?

Reader Comments



Diberdayakan oleh Blogger.